Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo mengungkapkan bahwa fenomena tidak menyenangkan soal penguatan dolar AS terus memberi tekanan pada rupiah dengan depresiasi 2,47 persen (qtq). Hal tersebut terutama dipicu kekhawatiran kenaikan suku bunga acuan The Fed dan penyelesaian krisis Yunani.
Belum usainya sentimen spekulasi penyesuaian Fed Fund Rate tersebut dilanjutkan dengan devaluasi mata uang Yuan yang dilakukan pemerintah Tiongkok. Praktis, hal tersebut justru semakin memberikan tekanan lebih dalam bagi rupiah.
Negeri Tirai Bambu tersebut dengan sengaja mendepresiasi Yuan sebesar 1,9 persen terhadap dolar AS pada 11 Agustus 2015. Kemudian kembali melemahkan mata uangnya 1,6 persen di 12 Agustus 2015. ”Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia belum menggembirakan di kuartal II 2015, tapi indikator ekonomi seperti inflasi, defisit neraca transaksi berjalan, neraca perdagangan dalam kondisi lebih baik,” terangnya.
Parahnya lagi, lanjutnya, kebijakan pemerintah Tiongkok tersebut berdampak negatif terhadap pergerakan mayoritas mata uang negara-negara di dunia, tak terkecuali rupiah.
”Rupiah sampai 12 Agustus 2015, terdepresiasi 10,16 persen atau lebih besar dari pelemahan mata uang Korea 8,35 persen, Thailand 6,62 persen dan Yen Jepang 3,96 persen. Tapi pelemahan rupiah lebih rendah dibanding depresiasi mata uang Malaysia 13,16 persen, Turki 16 persen lebih, Brazil 29,4 persen, dan Australia 10,16 persen,” jelasnya.
Sementara itu, data terkini AS di sektor ketenagakerjaan mengindikasikan pertumbuhan positif. Sehingga diperkirakan penyesuaian suku bunga acuan AS akan lebih cepat, bahkan kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed akan dilakukan dua kali.
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad mengungkapkan bahwa pihaknya meminta perbankan melakukan stress test rupiah di level tertentu sebagai skenario terburuk untuk menguji daya tahan dan kualitas bank di tengah gejolak perekonomian saat ini.
Stress test dilakukan bersama-sama dari mulai level rupiah yang paling rendah sampai yang paling ekstrem. Ini untuk menguji kecukupan modal perbankan. ”Yang namanya skenario mau dibuat ekstrem atau tidak, tapi harus make sense bisa buat stress test Rp 14 ribu atau Rp 15 ribu per dolar AS,” ujarnya.
Diakuinya, saat ini tingkat risiko kredit perbankan masih di level aman. Namun ada kenaikan dari prosentase kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) nett menjadi 1,25 persen dan NPL gross sebesar 2,55 persen.