[tie_list type=”minus”]Temukan 257 Kasus Transaksi Online[/tie_list]
JAKARTA – Bisnis prostitusi di Indonesia kian mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, permintaan jasa seksual tidak hanya datang dari dalam negeri, namun juga warga asing yang berwisata seks di Indonesia. Ironisnya, mereka tidak lagi menyasar orang dewasa, namun anak di bawah umur.
Kabar menyedihkan itu disampaikan Ketua End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Ahmad Sofian di Jakarta kemarin. Dia bahkan mengatakan, Indonesia telah menjadi negara kedua terbesar di Asia setelah Thailand dalam wisata seks anak. Data tersebut, menurut dia, dipublikasikan sebuah majalah luar negeri terkemuka. ”Data yang jelas bisa dipertanggungjawabkan,” ungkapnya.
Hal itu dibuktikan pihaknya melalui penelitian yang kini digarap ECPAT. Berdasar data sementara, ada sekitar 150 ribu anak Indonesia yang terlibat dalam bisnis haram itu. Mirisnya, angka tersebut diperkirakan meningkat tahun ini.
Sofian menambahkan, ada tiga kota yang menjadi sasaran empuk para wisatawan seks. Yakni, Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Kebanyakan bisnis seksual anak itu dijalankan secara online (daring). Di Bandung misalnya, ECPAT menemukan 257 kasus anak yang diperjualbelikan secara online. ”Untuk Surabaya, mucikarinya memasang gambar anak dengan konteks seksual, kemudian menjualnya di situs-situs luar negari,” urainya.
Untuk jumlah wisatawan seks dari luar negeri, hingga kini pihaknya belum memperoleh angka pasti. Namun, sebagai gambaran, dia menjabarkan presentasinya. Dari 36 anak penjajah seks yang dia tangani misalnya, 80 persen pengguna merupakan warga lokal. Sisanya merupakan wisatawan asing. ”Masih belum ada angka pasti saat ini,” tuturnya.
Sofian menambahkan, jumlah tersebut diprediksi terus meningkat. Sebab, saat ini para turis asing itu memang bermigrasi ke Indonesia. Hal tersebut menyusul adanya perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak di Thailand. Dalam perubahan itu disebutkan bahwa para pengguna jasa seks anak dikenai sanksi pidana meski sang anak mengaku melakukannya atas dasar suka sama suka. ”Beda dengan Indonesia, jika sudah bilang begitu (suka sama suka) ya dilepaskan. Kalau sang anak bilang tidak dilecehkan, ya sudah lepas,” keluhnya.