[tie_list type=”minus”]Merajalela karena Regulator Lemah[/tie_list]
JAKARTA – Akun menawarkan jasa prostitusi tumbuh cepat karena penegakan aturan yang lemah dan belum terorganisasi dengan baik. Instansi yang seharusnya bertanggung jawab dalam pencegahan dan pemberantasan memilih cari aman dengan hanya melakukan job desk masing-masing tanpa koordinasi.
Untuk masalah perubahan tren bisnis haram saja, misalnya, Kementerian Sosial (Kemensos) mengaku tidak memiliki kewenangan ikut campur mengatasi perubahan dari model lokalisasi ke penawaran di media sosial. Kemensos menyatakan, hal itu merupakan kewenangan pihak kepolisian.
Menurut Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Samsudi, pihaknya hanya kebagian jatah untuk memberdayakan pekerja seks komersial (PSK) yang ingin hengkang dari pekerjaan yang dijalani. ”Jadi, lokalisasi itu bukan ranah Kemensos,” ucapnya saat dihubungi belum lama ini.
Bagaimana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)? Setali tiga uang. Jika Kemensos lepas tangan, Kemenkominfo memilih pasif. Padahal, jika punya niat, mendata dan memblokir akun-akun itu bukan persoalan sulit. Minimal tidak sesulit memblokir situs-situs penyebar paham radikal yang sempat menjadi pembahasan luas.
Berdasar penelusuran Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) dan penuturan para PSK, sebenarnya praktik di Twitter tumbuh subur karena keberadaan alter. Menemukan keberadaan ”mucikari online” itu sangat mudah. Cukup dengan mengetikkan keyword–keyword vulgar. Aplikasi milik Twitter atau pihak ketiga seperti tweetdeck lebih akurat dan mempercepat pencarian. Tetapi, Kemenkominfo memilih menunggu peran aktif netizen (masyarakat pengguna internet) untuk akun vulgar.
Menurut Kepala Pusat Komunikasi dan Humas Kemenkominfo Ismail Cawidu, akun prostitusi harus dilihat kasus per kasus. ”Harus diadres satu per satu dengan cara flagging atau memberi tanda pada akun yang bersangkutan,” kata dia kemarin. Setelah flagging dilakukan, admin atau pengelola media sosial terkait bisa mem-blacklist akun yang dituju.
Sikap pasif Kemenkominfo mendapat kritik dari praktisi teknologi informasi (TI) I Putu Agus Swastika. Sebagai staf ahli BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), dia menuturkan bahwa kunci dari penanganan kasus prostitusi online adalah penegakan hukum. Apalagi, Indonesia sudah punya UU ITE. ”Ada cara yang lebih ekstrem, seperti registrasi akun social media pakai KTP, tapi kan tidak mungkin,” katanya.