DRAMA Mario Balotelli menjelang subuh kemarin (wib) mengharukan secara psikologis. Tendangan penalti Balotelli yang membuat Liverpool unggul 1-0 atas Besiktas Turki itu menggambarkan problem psikologis yang paling mendalam pada dirinya.
Bukan mustahil drama kemarin itu menjadi tonggak titik balik Balotelli untuk meraih sukses berikutnya. Terutama kalau tim psikolog Liverpool menggunakan drama itu sebagai materi “rehabilitasi Balotelli”.
Saat Liverpool merekrut Balotelli Agustus tahun lalu bukan main nyaringnya reaksi negatif. Ini karena Balotelli lebih identik dengan sosok bengal. Untuk apa mengambil pemain yang kaya masalah tapi miskin kemampuan.
Mulai dari masalah rasis yang begitu sensitif sampai masalah kedisiplinan yang mendasar. Apalagi terbukti kian jarang Balotelli bikin gol. Penampilannya di lapangan pun seperti ogah-ogahan. Setengah-setengah. Dan banyak bikin pelanggaran yang berbau nakal. Dia pemain yang sama sekali tidak simpatik.
Tapi manajemen Liverpool begitu tergiur oleh murahnya harga transfer Balotelli. Soal kebengalannya manajemen Liverpool berdalih akan mencarikan tim psikolog terbaik untuk pemain berumur 24 tahun ini.
Hasilnya ternyata tidak segera kelihatan. Atau mungkin tidak segera dapat tim psikilog dimaksud. Dari hari ke hari penampilan Balotelli jauh dari harapan. Terasa sekali dia tetap main ogah-ogahan. Gerakannya lamban. Wajahnya selalu murung. Potongan rambutnya yang garang sama sekali tidak mencerminkan kegarangan kakinya.
Potongan rambutnya yang disisakan di tengah kepala itu seperti hanya ingin menyisakan sisa-sisa citra kebengalannya.
Pemain kelahiran Palermo (pulau di Italia dengan sifat penduduknya yang keras) itu lantas jarang dimainkan. Hanya kalau Liverpool lagi krisis pemain Balotelli diturunkan. Itu pun hanya menit-menit akhir. Dan tetap mengecewakan. Kecuali pekan lalu.
Saat dia diturunkan menit-menit akhir melawan Crystal Palace. Dia berperan penting dalam terciptanya gol kedua bagi timnya. Kalau bukan pemain yang punya naluri menjebol gawang mustahil terjadi gol hari itu. Liverpool menang 2-1.
Tapi gol itu juga sekaligus menunjukkan bahwa dia punya “masalah pedalaman” yang akut. Dia tidak tampak gembira. Dia tidak meloncat girang. Dia tidak melakukan selebrasi. Dia hanya tidak kelihatan murung.