Minta Pemerintah Turun Tangan
JAKARTA – Para pengusaha kelapa sawit menjerit. Pasalnya, harga crude palm oil (CPO) di pasaran dunia terus mengalami penurunan.
Penurunan harga tersebut, selain disebabkan harga komoditas lainnya seperti kedelai dan sun flower yang sedang merangkak naik di negara penghasil, juga dipicu harga minyak dunia yang terus merosot. Kondisi ini juga membuat harga BBM (premium dan solar) di Indonesia juga mengalami penurunan.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Bioefuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor mengatakan, kondisi ini juga memukul program mandatory bahan bakar nabati (BBN) sebesar 10 persen tak lagi ekonomis. Padahal, ada 11 perusahaan CPO yang memproduksi biodiesel hingga 5,2 juta ton yang mensuplai ke Pertamina.
Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat hingga 7 juta ton tahun 2015 seiring dengan adanya 2-3 perusahaan CPO yang memproduksi biodiesel.
Dengan kondisi harga CPO yang terus terjun bebas, perusahaan-perusahaan CPO di Indonesia akan menghentikan pasokan biodieselnya ke Pertamina. ’’Mereka mengeluhkan harga jualnya kini jauh di bawah biaya produksi,’’ ujar MP Tumanggor dalam keterangan persnya kemarin (4/2).
Tumanggor mengatakan, dengan turunnya harga solar yang awalnya sekitar US$100 menjadi US$60 dan sekarang US$50, maka harga solar di sini lebih murah. Namun, selama ini produsen FAME mensuplai bahan baku yang dicampur dengan solar untuk biodiesel, harganya tidak mengikuti harga solar.
Selama ini, pemerintah selalu berpatokan pada Mean Of Platts Singapore (MOPS). ’’Kita mengikuti karena diinstruksikan oleh Wakil Presiden dan juga saat itu masih ada margin. Namun, kita tidak memperhitungkan bahwa harga solar akan jeblok seperti saat ini,’’ ujarnya.
’’Sebenarnya sejak dulu, Aprobi sudah protes akan ketentuan MOPS ini. Nah, untuk kondisi harga CPO saat ini, jika ketentuan MOPS tersebut tetap diikuti maka banyak produsen FAME akan mengalami kerugian,’’ terangnya.
Bahkan, lanjutnya, dalam empat bulan terakhir ini hampir semua produsen biodiesel FAME berdarah-darah mengalami kerugian. Tak tanggung-tanggung Tumanggor menyebut kerugian yang diderita produsen FAME antara US$ 275-350 per ton. Angka kerugian ini diperoleh dari harga CPO saat ini sekitar US$ 600 per ton. Kemudian ditambahkan biaya konversi produksi FAME sebesar US$188 diperoleh angka US$ 788 per ton, belum termasuk biaya angkut.