Prof Cai Jincheng, Pakar Bahasa dan Sastra Indonesia di Tiongkok
Meski warga Tiongkok, Prof Cai Jincheng memiliki kecintaan luar biasa pada Indonesia. Selama 44 tahun dia mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia di negaranya. Hasilnya, ribuan sarjana bahasa Indonesia lahir dari tempat dia mengajar.
SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya
SECARA fisik, mungkin orang kurang percaya bahwa pria tersebut kini telah berusia 64 tahun. Wajahnya masih terlihat muda. Rambutnya yang subur juga belum tampak beruban. Bukan hanya itu, cara bicaranya yang ceplas-ceplos juga tidak memperlihatkan bahwa dirinya sudah berumur.
Itulah sosok Prof Cai Jincheng, pakar bahasa dan sastra Indonesia di Fakultas Bahasa dan Budaya Asia Guangdong University of Foreign Studies (GDUFS). Di Tiongkok dia termasuk pakar bahasa yang langka. Mengingat tak banyak orang yang berminat melakukan studi bahasa dan sastra Indonesia.
“Bagi saya bahasa dan sastra Indonesia itu istimewa. Saya selalu tertarik untuk terus menelitinya,” ujar Prof Cai ketika mampir ke kantor redaksi Jawa Pos Surabaya awal Juni lalu.
Untuk kali kesekian, akhir Mei hingga awal Juni lalu, Cai berkunjung ke Indonesia. Selama sepekan di Indonesia, dia memenuhi undangan beberapa kampus. Di antaranya untuk memberikan kuliah umum di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pada 31 Mei dan menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis Ke-39 IKIP PGRI Madiun pada 4 Juni.
Bagi Cai Indonesia bukan negara asing. Dia cukup sering berkunjung ke negara ini. Terakhir, empat tahun silam, dia diundang Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sebagai Sahabat Presiden Indonesia. “Dari 23 orang dari 16 negara yang diundang, saya salah satunya,” ujarnya bangga.
Cai tertarik dengan Indonesia, khususnya bahasa dan budayanya, sejak masih mahasiswa. Saking cintanya, Cai sampai punya nama Indonesia, yakni Gunawan. Nama itu pemberian seorang pimpinan biro perjalanan asal Surabaya.
“Saat itu saya diminta menjadi penerjemah untuk menyambut rombongan pejabat dan pengusaha Indonesia yang mengikuti penerbangan perdana Garuda Indonesia ke Guangzhou pada 1990. Banyak dari rombongan menyebut nama Tionghoa saya salah. Itu sebabnya, bos Surabaya itu lalu memberi nama Gunawan agar orang tidak salah lagi menyebut nama saya,” cerita bapak satu anak tersebut.