Mengais Rezeki dari Kotoran Hewan Ternak

’’Saat ini kami sering mengantar ke tiap kecamatan di Bandung, dikirim ke Pulau Jawa juga,” ungkapnya.

Untuk produsksi pupuk, Maman menuturkan mesin pengolah pupuk merupakan hasil swadaya dari komunitas AMZT. Sedangkan untuk bantuan dari pemerintah sejauh ini belum didapatkan.

Untuk proses pembuatan pupuk kompos sebetulnya sangat sederhana. Yaitu, penjemuran, proses penguraian hingga packing atau pengemasan pupuk yang sudah jadi.

“Kohenya (kotoran hewan) dijemur, lalu diaduk selama satu minggu campur arang sekam, kemudian angkut di tempat teduh untuk dianginkan dan aduk hingga kering, lalau kita diamkan selama proses fermentasi 2-3 minggu, setelah itu packing,” jelasnya.

Maman mengaku, dari proses awal hingga akhir dapat memakan waktu hingga satu bulan lamanya. Penjemuran sampai packing menghabiskan waktu 1 bulan.

Untuk kapasitas produksi dalam sebulan Rumah Kompos baru berhasil membuat pupuk1-2 ton, itupun tergantung lahan penjemuran.

Lahan penjemuran luas, produksi bisa lebih banyak. Soalnya kita punya mesin bisa nyampe satu ton perjamnya. Tapi lahan penjemuran tidak bisa sampai 1 ton 4-5 karung itu sudah berdesakan.

’’Kita 1 bulan sampai 20 ton juga bisa, kalai ada proses penjemuran, lahan yang luas,” ujar Maman.

Dia menuturkan, keberadaan Rumah Kompos Cisurupan ini diharap mampu meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak membuang limbah kotoran sapi ke saluran sungai.

Sayangnya, dari sekian banyak peternak sapi, hanya segelintir saja yang memberikan kotoran hewannya untuk diolah menjadi pupuk kompos.

“Tujuannya meningkatkan kesadaran masyarakat terutama tentang pencemaran air, karena banyak yang mencemari peternak membuang kotoran sapinya ke sungai,” ungkapnya.

“Ada puluhan sapi, (bahkan) ratusan sapi yang membuang linbahnya pasti kesungai soalnya kemana lagi selain kesana, sedangkan kita hanya mengambil dari dua kandang saja,” tambah Maman lagi. (yan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan