Rayu Penenun Tua agar Mau Ajari Anak Muda

Ketika itu Dinny –yang sudah jenuh dengan ingar-bingar Jakarta– ingin menghabiskan masa tua di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, kampung halaman suaminya, Danny Parura. Udara sejuk, kicau burung, dan hamparan bukit nan hijau sejenak mampu membuat impiannya untuk menikmati masa pensiun yang indah menjadi nyata.

Namun, itu tak berlangsung lama. Latar belakang sebagai aktivis di bidang pemberdayaan perempuan memantik rasa gundahnya saat melihat deretan penenun tua di Sa’dan, salah satu kecamatan di Kabupaten Toraja Utara yang merupakan sentra kain tenun khas Toraja.

Matanya nanar melihat para penenun tua yang tekun duduk bersimpuh di depan alat tenun. Tidak ada seorang pun penenun muda yang dia lihat. Rupanya, anak maupun cucu para penenun tua itu lebih suka bekerja sebagai petani atau tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri jiran Malaysia.

Sebagai mantan sekretaris jenderal Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Dinny merasa hatinya kian tersayat saat mendengar kisah para TKI perempuan asal Toraja yang terpaksa pulang kampung dengan sejumlah bekas luka karena disiksa majikan masing-masing.

Bukan hanya itu. Dinny juga membandingkan kain tenun Toraja dengan kain batik yang sudah menasional. Kain batik tidak hanya dipakai orang-orang Jawa, tapi juga hampir seluruh warga Indonesia, termasuk generasi muda.

Sementara di Toraja, penduduk asli yang mengenakan pakaian dari kain tenun itu bisa dihitung dengan jari. Kalaupun ada, pemakainya adalah orang-orang tua. ”Ancaman punahnya kain tenun Toraja benar-benar nyata,” ucap perempuan yang bernama lengkap Dinna Iriana Jusuf itu.

Saat itulah dia meneguhkan tekadnya untuk membantu para penenun Toraja. Dinny lantas memutar otak. Pengalaman sebagai banker di Citibank dan konsultan pemasaran membuat insting bisnisnya masih tajam.

Kondisi ketika itu, para penenun kesulitan menjual kainnya sehingga profesi penenun tidak bisa diandalkan sebagai mata pencaharian. Hasil analisis Dinny menunjukkan, kain tenun Toraja sulit laku karena dijual dalam bentuk lembaran-lembaran kain. Apalagi, saat itu jumlah turis yang berkunjung ke Toraja juga anjlok.

Tinggalkan Balasan