Pengalihan Premium Tak Usah Terburu-Buru

JAKARTA – Penghapusan premium dan mengalihkannya ke pertamax diminta tidak boleh dipaksakan dalam waktu singkat. Ini karena pemerintah harus membangun kilang-kilang minyak baru. ”Pemerintah jangan terburu-buru menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis premium karena banyak kilang Pertamina masih memproduksinya,” kata Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi saat dihubungi wartawan di Jakarta kemarin (18/1).

Harga BBM
SAMPAI PENUH: Sejumlah masyarakat tengah mengisi BBM jenis premium bersubsidi di SPBU. Tepat hari ini (19/1) pemerintah menurunkan harga BBM premium bersubsidi dari Rp 7.600 menjadi Rp 6.700.

Pengamat perminyakan itu menambahkan, kalau tujuan pemerintah untuk memberantas mafia migas, pasti dapat dukungan dari semua pihak, termasuk DPR. ”Memang mestinya ke depan BBM kita ke arah yang lebih bagus, berkualitas dan ramah lingkungan. Tapi penghapusan premium tidak boleh dipaksakan dalam waktu singkat. Tidak bisa ujug-ujug diubah ke pertamax. Butuh waktu agar kita tidak terjebak lagi dalam mafia pertamax,’’ tandasnya.

Direktur Eksekutif Center for Energy and Strategic Resources (Cesri) Prima Mulyasari Agustini mengatakan, tren pengalihan konsumsi premium ke pertamax harus disikapi oleh pemerintah dengan cara mengurangi impor premium. Pasalnya, pengalihan konsumsi itu menandakan bahwa ada keinginan masyarakat untuk mendapatkan BBM yang lebih berkualitas.

Menurut dia, mengurangi impor premium merupakan pilihan yang rasional untuk dipikirkan oleh pemerintah. Dengan mengurangi impor premium, berarti pemerintah mengarahkan masyarakat untuk mengonsumsi bahan bakar yang lebih berkualitas. ’’Serta ikut mendidik masyarakat untuk kurang mengonsumsi BBM yang merusak lingkungan,” ujarnya.

Kendatipun itu pilihan yang tepat, Prima berpendapat, tidak berarti kebijakan strategis lainnya tidak diambil. Beberapa upaya yang bisa dilakukan setelah impor premium dibatasi ialah membangun kilang baru. Pembangunan kilang menopang meningkatnya konsumsi pertamax di dalam negeri. Soalnya, jika mengandalkan penguatan kapasitas kilang lama, hal tersebut sulit terwujud. Karena, meskipun dinaikkan kapasitasnya, kilang-kilang tersebut telah tua dan sulit memproduksi bahan bakar dengan kualitas yang lebih baik dari RON 88.

Pengamat energi, Ichsanuddin Noorsy mengatakan, Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi tidak menyelesaikan masalah dari hulu ke hilir. Tapi sebatas di hilir saja. Padahal, tim itu harus menyelesaikan dengan cara sistemik dan menyeluruh. ’’Di tengah mereka tak mampu membedah secara menyeluruh, mereka mengambil jalan pintas. Yakni, opsi penghapusan RON 88 dan memberlakukan RON 92 dengan subsidi tetap,’’ katanya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan