Nyak Sandang, Penyumbang Pembelian Pesawat Pertama Indonesia

Kepada Presiden Jokowi, Nyak Sandang meminta dibantu mengobati kataraknya agar bisa kembali mengaji. Kontribusinya dalam patungan pembelian pesawat pertama Indonesia baru terungkap hampir tujuh dekade berselang.

FERLYNDA PUTRI, Jakarta

SEMBARI berbaring, Nyak Sandang dua kali menjulurkan tangan kanannya yang tengah diinfus. Mencoba mengetes kemampuan mata.

Katarak membuat penglihatan kakek 91 tahun itu kabur. Jarak sepanjang satu lengan saja sudah tak terlihat. Saat berhadapan dengan pria asal Gampong Lhuet, Aceh, tersebut di Paviliun Kartika RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, kemarin (22/3), memang terlihat selaput putih di mata kanan.

’’Ini berapa?’’ kata Maturidi, relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang mendampingi pria 91 tahun itu, dalam bahasa Aceh.

’’Satu,’’ jawab Nyak Sandang dalam bahasa yang sama.

Nyak Sandang dirawat di RSPAD berkat Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Maturidi, saat bertemu kepala negara pada Rabu malam (21/3) di Istana Merdeka, Jakarta, Nyak Sandang memang mengeluhkan matanya yang tidak bisa berfungsi normal. ’’Minta diobati agar bisa mengaji,’’ ungkap Maturidi.

Nyak Sandang bisa mendapatkan kesempatan istimewa beraudiensi dengan presiden karena kontribusinya bagi negara juga istimewa. Ayah tujuh anak dan kakek 31 cucu itu adalah salah seorang penyumbang dalam pembelian pesawat pertama Indonesia setelah merdeka pada 1945.

Dia menyumbangkan hasil penjualan sepetak tanah di kampung yang ditumbuhi 40 pohon kelapa dan emas seberat 10 gram. Total uang yang terkumpul dari tanah dan emas itu sebanyak Rp 100. Semua dia serahkan kepada negara.

Patungan untuk membeli pesawat itu berawal saat pada 1948 Presiden Indonesia Pertama Soekarno berkunjung ke Aceh. Tujuannya, meminta dukungan saudagar setempat dalam membeli si burung besi.

Dua tahun berselang, Daud Beureueh yang waktu itu menjabat gubernur Aceh datang ke Masjid Lamno di Aceh Jaya. Usia Nyak Sandang masih 23 tahun kala itu.

’’Pekerjaannya saat itu memetik cengkih dan pala di kebun. Ya untuk membayar pajak ke Belanda,’’ tutur Khaidar, anak Nyak Sandang, yang turut mendampingi sang ayah ke Jakarta.

Sehari-hari Nyak Sandang dan istri, Fatimah, tinggal di rumah di sebelah kediaman Khaidar. Dari cerita yang kerap dia dengar sejak kecil, Khaidar menuturkan, kehadiran sang gubernur di Lamno waktu itu disambut meriah.

Tinggalkan Balasan