Bertemu Padewakang, ’’Ibu Kandung’’ Pinisi, di Belgia

Tiga ton kayu dan bambu bahan padewakang dikirim langsung dari Bulukumba untuk dirakit dan dipamerkan di Belgia. Wartawan Jawa Pos M. HILMI SETIAWAN menyaksikan langsung perakitan kapal dagang yang juga pernah menjadi kapal perang Sultan Hasanuddin itu di Liege.

DI ruang belakang museum itu, suara pukulan palu terdengar bertalu-talu. Potongan kayu berukuran kecil sampai besar juga berserakan di seluruh sudut ruangan.

Sisi belakang Museum La Boverie, Liege, Belgia, Rabu siang pekan lalu (11/10) itu memang tengah berubah menjadi semacam galangan kapal. Muhammad Usman Jafar yang dibantu dua saudaranya, Muhammad Bahri Jafar dan Muhammad Ali Jafar, bergulat dengan waktu menyelesaikan kapal padewakang. ’’Tanggal 24 Oktober akan mulai dipamerkan soalnya,’’ kata Usman di sela-sela perakitan.

Pameran yang dimaksud bertajuk Archipel yang memajang koleksi sejarah bahari Indonesia. Itulah satu di antara sekian banyak pameran dalam pergelaran Europalia. Dibuka 24 Oktober dan berlangsung sampai 21 Januari mendatang.

Padewakang adalah kapal bersejarah yang terancam punah. Padahal, bisa dibilang kapal jenis tersebut merupakan ’’ibu kandung’’ pinisi, si penjelajah samudra yang termasyhur itu. Pinisi merupakan hasil evolusi sang ibu.

’’Saat ini tinggal dua keluarga yang memiliki garis keturunan membuat kapal padewakang. Kami salah satunya,’’ tutur Usman, pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, 31 Desember 1961, itu.

Menurut Usman, padewakang merujuk pada sebuah nama pulau di Pangkajene, sebuah kepulauan di Sulawesi Selatan. Cerita masyarakat setempat, Sultan Hasanuddin menggunakan padewakang sebagai bagian dari armada perangnya. Bahkan sebagai kapal serbu di barisan depan.

Tapi, kali terakhir padewakang dibuat pada 1987. Pada saat itu ada pesanan khusus dari museum di Darwin. Setelah selesai dibuat tim yang dipimpin Muhammad Jafar, ayahanda Usman, padewakang dibawa menyusuri lautan lepas menuju Australia.

Horst Hebertus Liebner, peneliti kapal yang bertindak sebagai konsultan sejak masa persiapan pameran, menjelaskan, awalnya padewakang tak masuk pertimbangan.

’’Pilihannya saat itu adalah kapal pajala, pinisi, atau sandeq,’’ tuturnya.

Tim kurator dari Museum Nasional Indonesia mencoret pajala karena wujudnya terlalu simpel. Pinisi juga dibatalkan karena menyesuaikan dengan hall tempat pameran.

Tinggalkan Balasan