Sementara itu, Billy Martasandy, Direktur PT Martasandy Psychology Indonesia, mengungkapkan bahwa meski game perang dapat memperburuk kecenderungan agresif, faktor psikologis, emosional, dan sosial lebih berperan besar dalam mempengaruhi reaksi seseorang terhadap bullying. Billy mengungkapkan bahwa ketika seorang remaja merasa terpojok atau tidak dihargai, mereka cenderung mencari cara untuk membalas, yang bisa saja berupa perilaku agresif.
“Bagi korban bullying, mereka mungkin merasa tidak punya kontrol atas hidup mereka. Game yang penuh dengan kekerasan memberikan gambaran bahwa balas dendam atau kekerasan adalah cara untuk mendapatkan kembali kontrol itu. Ini bisa mempengaruhi bagaimana mereka menanggapi konflik di dunia nyata,” kata Billy.
Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di berbagai sekolah, seperti perkelahian antar siswa atau tindakan balas dendam yang ekstrem, menurut Billy, sering kali merupakan kombinasi dari berbagai faktor, seperti kurangnya empati, tekanan sosial, dan kelemahan dalam kontrol diri. Jika remaja tidak mendapatkan pendampingan atau tidak tahu cara yang sehat untuk mengatasi emosi mereka, mereka bisa jadi mencari pelampiasan melalui perilaku destruktif.
Baca Juga:Momentum Hari Pahlawan, Billy Martasandy Ajak Generasi Muda Jadi Pejuang di Era ModernPembangunan PLTA Upper Cisokan Dipastikan Sesuai Aturan dan Bawa Manfaat bagi Masyarakat
Keduanya sepakat bahwa untuk mengatasi masalah ini, pendidikan literasi digital dan pendampingan emosional menjadi sangat penting. Keluarga dan sekolah memiliki peran krusial dalam membantu remaja untuk memahami perbedaan antara dunia virtual dan kenyataan serta bagaimana menanggapi kekerasan dalam game dengan cara yang sehat.
“Penting bagi orang tua dan pendidik untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang konsekuensi kekerasan, baik di dunia nyata maupun dalam game. Selain itu, mereka perlu diajarkan untuk mengembangkan kontrol diri dan mengelola emosi mereka dengan cara yang positif,” ujar Zahraini.
Billy menambahkan bahwa pendekatan yang lebih terpadu antara orang tua, sekolah, dan masyarakat dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi remaja untuk tumbuh dan berkembang.
“Komunikasi terbuka dan pendampingan yang terus-menerus sangat diperlukan agar remaja bisa belajar memfilter konten yang mereka konsumsi dan mengembangkan cara-cara yang lebih konstruktif untuk menyelesaikan masalah.” Pungkasnya
