Jembatan gantung anyaman bambu ini memiliki sejarah panjang sebagai bukti gotong royong warga. Dulu, jembatan ini pertama kali dibangun pada tahun 2019 melalui swadaya murni masyarakat.
Fungsinya saat itu sangat vital, yakni untuk mendukung akses menuju lahan pertanian, memudahkan anak-anak pergi ke sekolah, serta menjadi jalur untuk menunaikan ibadah sholat Jumat bagi warga yang rumahnya terpencil.
“Jembatan gantung dari anyaman bambu ini dibangun dua kali itu hasil gerakan swadaya masyarakat. Kalau dari pemerintah itu belum ada,” tegas Sukaya.
Baca Juga:Makin Ripuh! ABPD Kota Banjar Tahun 2026 Dipangkas Rp150 MiliarUsai Insiden Keracunan MBG, Dinkes Banjar Kebut Penerbitan SLHS
Tidak hanya melayani satu dusun, jembatan ini juga berperan sebagai penghubung antar-desa, khususnya antara Desa Purbahayu dan Desa Sukahurip. Kerusakannya tidak hanya mengisolasi Dusun Mungganggondang, tetapi juga memutus sebuah mata rantai sosial dan ekonomi antar-komunitas di sekitarnya.
Sebagai jalan darurat sementara, warga kini terpaksa menuruni tebing dan melintasi dasar sungai di bawah bekas jembatan. Solusi ini jauh dari kata ideal dan bahkan membawa risiko tersendiri.
“Kalau banjir, ya tidak bisa dilewati, itu kita harus mutar jalan sekitar 3 kilometer ke arah Desa Sukahurip,” jelas Sukaya.
Jarak tempuh yang membengkak ini menyita waktu, tenaga, dan biaya operasional yang tidak sedikit, terutama bagi petani yang harus membawa hasil bumi atau anak-anak yang harus berjalan kaki lebih jauh.
Dengan segala keterbatasan dan kesulitan yang harus ditanggung, harapan warga Dusun Mungganggondang kini tertuju pada satu hal, yakni kepedulian dan tindakan nyata dari pemerintah maupun pihak-pihak lain yang memiliki perhatian.
“Mudah-mudahan kang, ada perhatian dari pemerintah, karena jembatan ini sangat penting untuk akses kita,” pungkas Sukaya. (CEP)
