Anomali kebijakan ini adalah puncak ironi sekaligus bentuk ketidakadilan yang nyata. Pajak merupakan pilar utama negara dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara yang berpenghasilan. Ironisnya, justru para legislator yang merancang dan mengesahkan undang-undang perpajakan untuk 270 juta rakyat Indonesia malah dikecualikan dari beban pajak tersebut.
Praktik ini jelas melanggar prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Ia menciptakan kasta istimewa yang terbebas dari tanggung jawab fiskal yang wajib dipikul rakyat biasa. Sementara gajimu setiap bulan dipotong pajak, para anggota dewan justru mendapatkan tambahan uang untuk menutup potongan serupa.
Jika dibandingkan secara internasional, hampir semua negara demokrasi maju tidak mengenal konsep tunjangan pajak bagi anggota parlemen. Di negara-negara seperti Swedia, Singapura, dan Inggris, gaji anggota parlemen diumumkan dalam bentuk bruto, lalu dipotong pajak sesuai tarif yang berlaku untuk seluruh warga negara. Mereka adalah bagian dari sistem perpajakan, bukan pihak yang berada di atasnya.
Baca Juga:Rahasia Harga Mobil Listrik BYD Semakin Murah Setiap Tahun, Bisa Merusak PasarBenarkah Tahlilan Bukan Ajaran Islam? Sejarahnya Terungkap!
Rekomendasi terbaik adalah tindakannya hanya satu, yaitu hapuskan tunjangan PPh Pasal 21 sepenuhnya, segera, dan tanpa syarat. Seluruh penghasilan anggota DPR harus dianggap sebagai pendapatan bruto yang wajib dikenakan pajak penghasilan, sama seperti rakyat lainnya.
7. Tunjangan Komunikasi Intensif – Rp15.554.000 per Bulan
Berikutnya adalah tunjangan dengan nama yang absurd dan nominal yang fantastis. Setiap bulan, anggota DPR menerima Rp15.554.000 melalui pos Tunjangan Komunikasi Intensif. Alasannya: untuk memfasilitasi komunikasi dengan konstituen di daerah pemilihan.
Namun, ada dua anomali besar. Pertama, sifatnya tumpang tindih. Mereka sudah mendapat bantuan langganan listrik dan telepon sebesar Rp7.700.000 per bulan. Jadi, pertanyaan sederhananya: komunikasi intensif macam apa yang membutuhkan biaya Rp15 juta per bulan ketika tagihan telepon sudah dibayarkan negara?
Kedua, tidak ada mekanisme pertanggungjawaban publik. Tanpa pedoman jelas dan kewajiban pelaporan, tunjangan ini pada praktiknya berubah menjadi tambahan gaji tidak kena pajak, dengan risiko besar menjadi pendapatan pribadi.
Rekomendasi terbaik adalah hapuskan tunjangan ini dalam format sekarang. Gabungkan menjadi satu alokasi Dana Pelayanan Konstituen dan Komunikasi Publik dengan tiga syarat utama, yaitu jumlahnya drastis dikurangi, penggunaannya diatur dengan pedoman ketat, dan setiap pengeluaran wajib dilaporkan secara publik dengan bukti sah.
