Di sinilah letak anomali kebijakan. Bukankah fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan adalah tiga tugas utama DPR yang sudah ditetapkan dalam undang-undang?
Maka, pemberian tunjangan ini sama saja seperti membayar seseorang dua kali untuk pekerjaan yang seharusnya memang menjadi kewajiban dasarnya. Analogi sederhananya: membayar gaji pilot, lalu menambahkan tunjangan khusus agar ia benar-benar mau menerbangkan pesawat; atau memberi bonus seekor ikan karena ia sudah “meningkatkan fungsi berenang.”
Konsep ini secara filosofis absurd. Ia menegaskan premis keliru bahwa melaksanakan tugas inti dianggap sebagai prestasi luar biasa yang layak mendapat bayaran tambahan, bukan standar minimum profesi seorang legislator.
Baca Juga:Rahasia Harga Mobil Listrik BYD Semakin Murah Setiap Tahun, Bisa Merusak PasarBenarkah Tahlilan Bukan Ajaran Islam? Sejarahnya Terungkap!
Jika dibandingkan dengan negara-negara parlementer yang matang seperti Kanada atau Jerman, tunjangan semacam ini tidak pernah ada. Gaji pokok anggota parlemen di sana sudah mencakup kompensasi untuk seluruh fungsi utamanya. Memberi tunjangan ekstra hanya untuk melakukan pekerjaan pokok akan dianggap sebuah lelucon.
Rekomendasi paling logis: hapus total tunjangan ini. Pengawasan dan anggaran bukanlah pekerjaan tambahan, melainkan mandat inti. Dengan menghapusnya, negara bisa menghemat lebih dari Rp26 miliar per tahun.
4. Tunjangan Kehormatan – Rp5.580.000 per Bulan
Setelah dibayar ekstra agar tidak malas bekerja, ternyata masih ada lapisan kemewahan lain bernama Tunjangan Kehormatan. Setiap bulan, masing-masing anggota DPR menerima Rp5.580.000 hanya untuk alasan “kehormatan.”
Pertanyaan mendasarnya adalah kehormatan macam apa yang harus dipelihara dengan biaya bulanan sebesar Rp5,5 juta? Apakah kehormatan bisa luntur jika tidak disuntik dana? Tunjangan ini tidak diberikan untuk kinerja atau kerja nyata, melainkan semata-mata sebagai penghargaan status mereka sebagai pejabat.
Dalam logika pelayanan publik yang sehat, kehormatan itu lahir dari integritas, pengabdian, dan hasil kerja nyata, bukan dari transferan rutin yang dibebankan kepada pajak rakyat. Keberadaan tunjangan ini justru menunjukkan bahwa sistem kita lebih menghargai simbol dan status dibanding substansi.
Jika dibandingkan dengan negara seperti Swedia, konsep tunjangan kehormatan tidak dikenal sama sekali. Menjadi wakil rakyat dipandang sebagai amanah, bukan status yang perlu dihujani honorarium tambahan.
