Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Program Gapura Panca Waluya yang digagas Gubernur Dedi Mulyadi tidak berhenti di pelatihan barak militer. Salah satu pengembangannya yang kini menjadi sorotan adalah pendirian Sekolah Kebangsaan Jabar Istimewa, yang dirancang sebagai kelanjutan dari pelatihan karakter.
Sekolah ini akan mengintegrasikan kurikulum akademik, pendidikan kebangsaan, kewirausahaan, serta penguatan nilai sosial dan kepribadian siswa. Rencana ini diumumkan dalam pidato Kang Dedi pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2025 lalu.
Ia menyebut bahwa pendidikan saat ini terlalu banyak menghasilkan lulusan yang pintar secara teori, tetapi miskin dalam pengabdian dan tidak siap menjadi penggerak perubahan. “Kita butuh generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga punya keberanian memperbaiki bangsa dari dalam,” ujarnya dalam pidato tersebut (Harkitnas, 20/5/2025).
Baca Juga:Puluhan Tahun Menyapu Jalan, 93 Pahlawan Kebersihan Tersapu AdministrasiDorong Industri Hijau, Kemenperin Berikan Ruang Bagi Generasi Muda untuk Riset Sains Inovasi Ramah Lingkungan
Kebijakan Pendidikan yang Membumi
Sebagai bagian dari ekosistem pendidikan karakter, Pemprov Jabar juga menerbitkan Surat Edaran Gubernur No. 43/PK.03.04/KESRA, yang mulai berlaku sejak Juni 2025. Dalam SE tersebut, Kang Dedi menertibkan berbagai praktik pendidikan yang dianggap tidak mendidik secara esensial.
Larangan study tour mahal, pembatasan acara wisuda yang bersifat seremonial, hingga penghapusan pekerjaan rumah dan penerapan jam malam pelajar pukul 21.00 WIB menjadi bagian dari kebijakan yang disebutnya sebagai “pendidikan yang membebaskan, bukan membebani.”
Langkah ini mendapat apresiasi dari banyak kalangan. Organisasi orang tua murid dan sejumlah komunitas guru di Cirebon, Subang, dan Garut menyampaikan bahwa kebijakan ini telah mengurangi tekanan finansial pada keluarga dan memberi ruang lebih luas bagi anak untuk terlibat dalam kehidupan rumah dan sosial. Guru di SMPN 3 Purwakarta, misalnya, menyebut bahwa siswa menjadi lebih fokus belajar dan lebih dekat dengan orang tuanya setelah kebijakan PR dihapuskan (testimoni lapangan, Juni 2025).
Secara filosofis, pendekatan ini sangat dekat dengan pemikiran Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil yang terkenal dengan konsep “pendidikan pembebasan.” Bagi Freire, pendidikan sejati bukan tentang mengisi kepala siswa dengan data, melainkan tentang mengubah cara berpikir dan cara hidup. Pendidikan yang transformatif, dalam istilah Freire, adalah yang mengangkat kesadaran kritis dan mengembalikan martabat manusia melalui pembelajaran.
