Pendidikan Karakter Berbasis Barak: Jalan Baru Menuju Generasi Panca Waluya (Bagian I)

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti tasawuf dan pendidikan sosial Budi Rahman Hakim, Ph.D
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti tasawuf dan pendidikan sosial Budi Rahman Hakim, Ph.D
0 Komentar

Dalam perspektif sosiologi pendidikan, Émile Durkheim menyebut bahwa lembaga seperti ini menciptakan “komunitas moral” yang menanamkan nilai bukan melalui paksaan, tetapi melalui kehidupan bersama yang konsisten. Model barak ini menjadi arena pelatihan nilai dalam bentuk praksis, bukan sekadar teori.

Kritik dan Respons

Meski banyak mendapat dukungan, program ini tak luput dari sorotan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan beberapa pengamat pendidikan menilai perlu adanya batasan agar pendekatan militeristik ini tidak melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak.

Namun, pihak Dinas Pendidikan Jawa Barat menegaskan bahwa seluruh peserta telah melewati tahapan asesmen psikologis, tes kesehatan, dan dikawal tim profesional selama pelatihan berlangsung.

Baca Juga:Nongkrong Hemat di Pakansari, Gayo Sosis Internasional 08 SolusinyaAncam Kelangsungan Sekolah Swasta! FKSS Tolak Rencana Penambahan Rombel Negeri di Jabar

Di sisi lain, sejumlah orang tua justru menyatakan dukungannya. Beberapa di antaranya bahkan meminta masa pelatihan diperpanjang karena anak mereka menunjukkan perubahan sikap dan pola hidup yang lebih tertib setelah pulang dari barak.

Saat ini, DPRD Jawa Barat tengah mengkaji keberlanjutan program ini, termasuk kemungkinan menjadikannya bagian dari kurikulum pendidikan karakter di sekolah-sekolah umum tanpa harus selalu melalui model barak. Ini membuka peluang untuk memperluas penerapan nilai Panca Waluya ke dalam sistem pendidikan yang lebih sistemik dan fleksibel.

Panca Waluya, dalam konteks ini, tidak hanya menjadi proyek pelatihan, tetapi simbol pergeseran orientasi pendidikan: dari orientasi nilai ke orientasi watak, dari kompetisi menuju kolaborasi, dari kognitif menuju karakter. Artikel ini akan dilanjutkan dalam bagian kedua, dengan fokus pada perluasan kebijakan dan rencana pendirian Sekolah Kebangsaan Jabar Istimewa sebagai fase lanjutan program ini. (Bersambung ke Bagian II).

*) Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti tasawuf dan pendidikan sosial.

0 Komentar