Tunjangan Hari Raya bagi Pekerja Gig: Bisakah?

Oleh: Nailul Huda, Direktur Ekonomi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

JABAR EKSPRES – Seperti sudah rutinitas, isu pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi driver transportasi online muncul ketika mendekati bulan Ramadhan dan Lebaran. Tahun 2025, isu pemberian THR ini muncul ketika demo driver transportasi online pada 17 Februari 2025 yang lalu. Tuntutan yang dibacakan juga masih seputar pemberian THR hingga memicu komentar dari Menteri dan Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Sebelum membahas ke arah pemberian THR, ada baiknya pembahasan dimulai dari status driver transportasi online.

Dalam laporan Celios (2024), driver transportasi online sangat dekat dengan definisi pekerja gig. Pekerja gig sendiri, merupakan pekerja dengan lepas dengan memiliki karakteristik fleksibel dan mendapatkan lebih dari satu sumber penghasilan. Pekerja gig sendiri terbagi menjadi dua tipe, yaitu location-based gig worker dan online based gig worker. Driver transportasi online dapat dimasukkan ke dalam location-based gig worker dimana istilah ini mengacu pada pekerja gig yang melakukan tugas atau proyek berdasarkan lokasi geografis tertentu. Artinya, pekerja ini menangani pekerjaan atau proyek yang membutuhkan kehadiran fisik di lokasi tertentu, biasanya dalam batas-batas geografis tertentu.

Pekerja gig, status pekerjanya bukanlah pekerja formal seperti pada umum-nya. Pekerja gig menggunakan pendekatan kemitraan alih-alih pekerja formal. Tentu, status pekerjaan yang berbentuk kemitraan membuat pembahasan mengenai THR ini tidak kunjung selesai. Secara hukum, THR hanya diberikan kepada pekerja tetap dan tidak tetap. Namun demikian, status pekerja gig adalah kemitraan yang diatur oleh UU nomor 20 tahun 2008. Demikian pula, status dari platform penyedia pekerjaan gig bukan perusahaan yang memiliki pekerja gig.

Status kemitraan ini yang belum dipahami oleh pemangku kebijakan dimana status pekerja gig, seperti driver transportasi online, masih belum jelas. Tidak ada kesepakatan resmi bahwa pekerja gig ini sebagai kemitraan. Maka dari itu, pekerja gig sering berharap aturannya disamakan dengan pekerja formal. Padahal, kontrak kerja-nya berbentu kemitraan yang dekat dengan pengaturan di Kementerian UMKM, bukan di Kementerian Ketenagakerjaan.

Platform digital mempunyai bentuk two-sided market atau pasar dua sisi dimana platform melayani dua jenis konsumen. Konsumen pertama adalah para konsumen akhir, seperti contohnya penumpang dalam transportasi online. Konsumen kedua adalah pekerja gig, contohnya adalah driver transportasi online. Platform secara sistem kerja mempertemukan konsumen dalam satu wadah. Ada interaksi langsung antar jenis konsumen yang difasilitasi oleh platform.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan