Ia menyoroti penurunan omzet pedagang pasar yang bisa mencapai 30% akibat kebijakan tersebut.
“Kami sangat menolak pembatasan ini karena rokok adalah salah satu produk yang paling cepat laku terjual dan menjadi penopang utama omzet bagi pedagang pasar. Kebijakan ini akan memukul keras para pedagang yang sudah mengalami penurunan omzet sejak aturan ini diberlakukan,” jelas Herninta.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, turut menyuarakan kekhawatiran yang sama.
Menurutnya, penjualan rokok di ritel modern menyumbang sekitar 15% dari total penjualan, yang secara nasional dapat mencapai angka Rp40 triliun.
Ia memproyeksikan bahwa implementasi kebijakan ini akan mengurangi pendapatan anggota Hippindo hingga Rp21 triliun, sebuah angka yang sangat besar dan dapat mengancam kelangsungan usaha banyak toko.
Baca juga : 1,3 Juta Batang Rokok dan 170 Miras Ilegal Dimusnahkan di Cimahi
“Jika zonasi ini diberlakukan, maka toko-toko ritel modern yang terimbas akan kehilangan pendapatan hingga Rp21 triliun. Ini adalah potensi kerugian yang sangat besar dan harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati,” tegas Budihardjo.
Dengan adanya gelombang protes dari berbagai pihak, regulasi ini menjadi isu panas di kalangan pengusaha, yang berharap agar pemerintah dapat mengevaluasi kembali kebijakan tersebut untuk memastikan keberlanjutan bisnis mereka tanpa mengorbankan kesehatan masyarakat.