Firman menilai, meski didukung KIM, Dedi Mulyadi belum tentu menang mudah di Jabar. Alasannya adalah belum tentu loyalis Ridwan Kamil akan seratus persen mendukung mantan Bupati Purwakarta itu. “Loyalis Ridwan Kamil bisa pindah ke figur lain karena kecewa,” cetusnya.
Masa yang kecewa karena Ridwan Kamil tidak jadi maju di Pilkada Jabar bisa berputar halauan. Hal itu mestinya bisa dimanfaatkan lawan politik atau kompetitor KIM.
Di sisi lain, KIM punya pekerjaan rumah (PR) untuk merawat loyalis Ridwan Kamil itu. Carannya adalah dengan mengusung wakil Dedi Mulyadi yang memiliki asosiasi dekat dengan Ridwan Kamil. “Sejauh ini figur Atalia yang terasosiasi paling dekat dengan Ridwan Kamil,” imbuhnya.
BACA JUGA:Pria di Bandung Barat Nekat Akhiri Hidup di Jembatan Sasak Beusi, Warga Beri Kesaksian Begini
PKS dan PDIP Kunci Poros Penantang
Firman menambahkan, saat ini yang perlu didorong adalah kekuatan penantang agar tidak terjadi kotak kosong. Kuncinya ada di PKS dan PDIP. Mestinya dua partai besar itu bisa membentuk satu atau dua poros baru sebagai penantang KIM.
Penantang yang paling mumpuni atas hadirnya koalisi besar dan popularitas kandidat adalah mesin partai yang efektif. Modal itu sebenarnya ada di dua partai besar itu.
Misalnya belajar dari Pilkada 2019, pasangan yang diusung PKS waktu itu bisa memberi kejutan di detik-detik akhir walaupun memang belum bisa sampai menang. “Kala itu survei pasangan Sudrajat-Syaikhu di angka 10 – 11 persen, tapi hasil akhir bisa di angka 28an persen. Mesin partai yang efektif bisa ubah peta pertarungan,” cetusnya.(son)