Hasanuddin Basri salah seorang dari dua orang guru honorer yang mengajar menyebut, jumlah siswa yang dididiknya kini mencapai 38 orang untuk siswa SD dan 8 orang siswa kelas 1 SMP.
Pria berusia 24 tahun itu, rela mengabdikan dirinya demi mencetak generasi anak bangsa di kampung tersebut. Tak muluk-muluk, ia hanya ingin anak-anak didiknya tetap semangat menimba ilmu walau dengan keterbatasan.
“Sudah pasti sedih, kadang saya juga merasa prihatin melihat kondisi mereka yang jauh seperti anak-anak di luaran sana. Mereka hanya bisa belajar di lantai secara bergantian, ada yang pake seragam ada juga yang tak mampu membeli seragam,” lirihnya.
“Karena tempatnya terbatas (pelataran musholah), pola belajar jadi dibuat bergantian, bahkan untuk kelas 1,2 dan 3 digabung hanya disekat pergrup saja. Untuk yang SMP induknya itu salah satu sekolah swasta, kelas jarak jauhnya di sini juga, itu masuk siang,” imbuh Hasan sapaanya.
Pihaknya meminta, agar Pemkab Bogor segera turun tangan memberikan fasilitas pendidikan yang layak bagi siswanya.
“Kami hanya ingin anak-anak sekolah dengan layak, seperti pelajar umumnya. Semangat mereka mengemban pendidikan sangat tinggi,” ujar Hasan yang mengabdikan dirinya sebagai guru kelas jauh sejak 2013 itu.
Selain ingin ada pembangunan pada sekolahnya, warga setempat juga meminta pemerintah segera memperbaiki kondisi akses jalan satu-satunya ke kampung mereka.
“Jalan itu kami bangun dengan tenaga warga setempat. Dulunya hanya jalan setapak saja. Semoga segera bisa dibangun,” ucap Hasan.
Fakta kondisi jalan rusak, perekonomian masyarakat yang mengandalkan hasil kebun dan tidak adanya fasilitas pendidikan itu didapati sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Pers Motor Club (PMC).
PMC juga mendapati tidak adanya sinyal ponsel di kawasan yang jauh dari peradaban perkotaan itu. Untuk menuju kawasan tersebut, rombongan bikers harus melalui jalanan terjal di tebingan dan sisi jurang yang curam. Sejumlah titik rawan longsor juga mewarnai perjalanan tim PMC saat bersilaturahmi dengan warga. (YUD)