JABAR EKSPRES – Indonesia dikenal akan rempah-rempahnya yang begitu melimpah. Salah satu rempah yang tumbuh subur di tanah air adalah andaliman atau bernama latin zanthoxylum acanthopodium yang merupakan rempah khas Danau Toba, Sumatera Utara.
Rempah yang memiliki rasa pedas, getir, panas, mentol, dan aroma harum seperti bau jeruk ini dapat diolah menjadi bumbu masak serta dapat pula dibuat keripik, bandrek, dan berbagai makanan-minuman lainnya.
Marandus Sirait, salah satu pelaku usaha rempah Andaliman di Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba, Sumatera Utara menjadi yang pertama kali membudidayakan Andaliman di Lumbun Jalu.
BACA JUGA: Peletakan Batu Pertama Pembangunan Rumah Layak Huni di Pameungpeuk
Inisiatifnya tersebut kemudian menginspirasi masyarakat sekitarnya turut serta dalam membuat usaha yang sama.
Sirait sendiri memulai usaha andaliman pada 2017 dengan nama UMKM CV Andaliman Mangintir dengan membudidayakan dan menjual rempah andaliman, baik yang masih segar maupun dalam kesaman, serta produk-produk turunannya ke dalam dan luar negeri.
Modal awal usaha andaliman Sirait yaitu sebesar Rp50 juta. Modal tersebut dipakai untuk membeli bibit, alat-alat produksi, menyewa lahan untuk menanam, dan kebutuhan lainnya.
BACA JUGA: Otorita IKN Minta Tambahan Anggaran Rp29,8 Triliun Tahun Depan
Andaliman sendiri, kata Sirait, membutuhkan waktu 1 tahun untuk tumbuh. Masa panennya dimulai di bulan Maret hingga Juni. Selepas bulan tersebut, produksi andaliman akan terus berkurang.
“Saat stok Andaliman sedang normal, eceran Andaliman memiliki harga paling murah Rp15.000 per kilogram. Namun, ketika stok sedang sedikit, harga Andaliman bisa mencapai Rp250.000 sampai Rp300.000 per kilogram,” ujarnya. Ia pun dapat meraup omzetnya sekitar Rp20 juta tiap bulannya.
Berkat keunikan dan kekhasan rempah tersebut, UMKM-nya juga pernah mengikuti pameran makanan di luar negeri, yakni di Swiss, Spanyol, dan Polandia.
Kendati usahanya berjalan mulus, namun pada 2020 ketika pandemi Covid-19 ia menemui sebuah tantangan.
“Saat pandemi Covid 19, tidak ada pasar sama sekali sementara tanaman kami lagi panen raya, jadinya banyak Andaliman yang mati. Itulah masa anjloknya Andaliman dan kelompok tani Andaliman,” terangnya.