JABAR EKSPRES – Film “Vina: Sebelum 7 Hari” yang diangkat dari kisah nyata kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita di Cirebon pada tahun 2016, telah menjadi perbincangan hangat di kalangan publik sejak dirilis pada 8 Mei 2024. Mengisahkan tragedi pilu yang menimpa Vina, film ini menuai berbagai reaksi, baik pro maupun kontra.
Kontroversi dan Etika dalam Film
Sejumlah pihak menuding bahwa film ini mengeksploitasi tragedi yang menimpa Vina, dengan menyebut penggambaran kekerasan dan pemerkosaan dalam film tersebut sebagai hal yang tak bermoral dan melanggar etika. Kritikus menyayangkan bahwa film yang disutradarai oleh Anggy Umbara dan ditulis oleh Bounty Umbara serta Dirmawan Hatta ini, meskipun lolos sensor Lembaga Sensor Film (LSF) dengan klasifikasi D17 (dewasa 17 tahun ke atas), tetap dianggap tidak etis oleh sebagian penonton.
Kesuksesan di Box Office
Meskipun menuai kritik, film ini berhasil menarik perhatian penonton. Hingga Jumat, 17 Mei 2024, atau sembilan hari setelah penayangan perdana, “Vina: Sebelum 7 Hari” sudah ditonton oleh 3,5 juta orang. Kesuksesan ini menunjukkan minat besar dari masyarakat terhadap kisah nyata yang diangkat dalam film tersebut.
Dukungan dan Pesan Moral
Di sisi lain, banyak yang mendukung film ini karena dianggap sebagai pengingat bahwa kasus Vina belum sepenuhnya terselesaikan. Beberapa pelaku dan dalang masih belum tertangkap, dan film ini diharapkan dapat menjadi tekanan moral bagi penegakan hukum. Produser Dheeraj Kalwani alias K.K. Dheeraj mengklaim bahwa proses produksi film ini dilakukan dengan berkonsultasi kepada keluarga Vina dari awal hingga akhir, memastikan bahwa cerita yang diangkat sesuai dengan kejadian sebenarnya.
Pendapat Para Ahli dan Pengamat
Pengamat perfilman dan budaya populer, Hikmat Darmawan, menilai bahwa masalah yang dihadapi film ini sangat kompleks. Hikmat menyatakan bahwa film ini tidak melanggar hukum, mengacu pada Surat Tanda Lulus Sensor dari LSF dan peraturan pemerintah yang berlaku. Namun, menurutnya, persoalan etika adalah hal yang subjektif dan seharusnya menjadi tanggung jawab asosiasi profesi dalam industri film.
Pendapat Lembaga Sensor Film
Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, menjelaskan bahwa film ini lulus sensor karena penggambaran kekerasan tidak ditonjolkan secara gamblang dan memenuhi kriteria untuk film dewasa. Rommy menegaskan bahwa adegan kekerasan dalam film ini disajikan dengan proporsi yang tidak sadis secara visual dan tidak vulgar.