Kata-kata di Tembok Rumah, Simbol Penguat Warga Dago Elos

Itu baru bagian luar wilayah dari lahan seluas 6,3 hektare yang disengketakan. Jabar Ekspres coba menyusurinya lebih dekat. Perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki hampir 500 meter lebih. Kata-kata tidak hanya berakhir di spanduk. Mereka ada di tembok-tembok warga dengan bentuk poster seruan.

Seperti halnya sejumlah poster yang sengaja ditempel terhadap tembok rumah warga wilayah RT1/RW2. “Diam ditindas atau melawan untuk bebas,” seruan yang tertulis dalam poster dengan ukuran sekira 40×15 cm. Atau kata-kata lain yang seolah jadi pengingat bagi warga apabila memilih diam. “Kalau sudah tiada baru terasa,”

BACA JUGA: MSL Group Aplikasi Penghasil Uang atau Jerat Penipuan?

Kata-kata itupun mewarnai tembok warga sepanjang Jabar Ekspres menyisir wilayah yang terdampak konflik agraria, yakni RT 1 dan 2. Sementara kata-kata menohok tertulis dalam spanduk yang berada di jalan masuk menuju Bale RW 2: Kita Belum Merdeka.

Ditemui Jabar Ekspres, Perwakilan Forum Dago Melawan, Angga S. Putra menuturkan, lahan dengan luas 6,3 hektare itu bakal memberi dampak terhadap kurang lebih 2.500 jiwa. Penggusuran bukan hanya menghantui warga RW 2 semata, melainkan RW 1 pun disinyalir terkena dampaknya.

“Kalau berdasarkan gugatan, sedikit. Angka itu 330 warga yang tergugat. Itu angka jauh lebih sedikit ketimbang fakta di lapangan. Padahal luasan tanah itu ditempati 2.500 jiwa,” ungkapnya.

Wilayah yang terseret dalam konflik agraria itu, kata Angga, dimulai dari arah selatan, yakni sekitar Jl. Ir. H. Juanda dari ujung Terminal Dago. Lahan yang merupakan aset pemerintah itu pun masuk ke dalam lingkaran konflik agraria.

Sementara dari arah utara, dirinya menjelaskan bahwa wilayah yang terdampak sengketa yakni sekitar kawasan perbatasan antara kota/kabupaten. Sekitar wilayah Cirapuhan.

BACA JUGA: Pernah jadi Orang Dalam, Farhat Abbas Incar Tiket Rekomendasi Bacawalkot Bogor dari PPP

Hampir satu dekade dilewati warga dengan kondisi penuh khawatir digusur. Lalu petaka itu muncul pada tahun 2016. Lantas menjadi hal yang wajar apabila kata-kata meminta keadilan didengungkan dari nyaris setiap titik lahan seluas 6,3 hektare tersebut.

Dia menegaskan, warga terhitung sudah menjalankan proses formal itu sejak tahun 90-an. Pihaknya selalu mengajukan proses sertifikasi. Tapi hasilnya nihil sampai sekarang. Sampai pada akhirnya ada gugatan dari Keluarga Muller.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan