JABAR EKSPRES – Pengusaha Starbucks di Timur Tengah dan Asia Tenggara mengalami penurunan bisnis yang signifikan akibat boikot terkait konflik Palestina-Israel.
Alshaya Group, operator waralaba yang berbasis di Kuwait dan memiliki hak untuk mengoperasikan Starbucks di Timur Tengah, mengonfirmasi pemotongan 2.000 pekerja di wilayah tersebut karena kondisi perdagangan yang sulit selama enam bulan terakhir.
Sejak dimulainya konflik Palestina-Israel, Starbucks terpaksa mengubah persepsi yang mengaitkan perusahaan dengan dukungan terhadap pemerintah Israel dan militer Israel.
Baca Juga:Ini Penyebab Instagram dan Facebook Tidak Bisa Diakses!Kapan Kartu Prakerja Gelombang 64 Dibuka? Berikut Informasinya Lengkap dengan Syarat Pendaftaran
Alshaya Group mengoperasikan lebih dari 1.900 gerai Starbucks di Timur Tengah dan Afrika Utara dengan lebih dari 19.000 pekerja.
Pendiri Berjaya Food, Vincent Tan, mendorong pelanggan di Malaysia untuk menghentikan boikot. Situs web Starbucks di Malaysia dan Timur Tengah mengeluarkan pernyataan bahwa perusahaan ini tidak memiliki agenda politik, tidak mendanai operasi pemerintah atau militer, dan tidak memiliki gerai di Israel sejak tahun 2003.
Pada bulan Januari, Starbucks memangkas perkiraan penjualan tahunan globalnya akibat dampak konflik Israel-Hamas terhadap bisnis pemegang lisensinya di Timur Tengah.
CEO Starbucks, Laxman Narasimhan, mengakui dampak signifikan terhadap lalu lintas dan penjualan di wilayah tersebut akibat protes dan boikot.
Meskipun demikian, Starbucks menyatakan komitmennya untuk mengembangkan bisnis di Timur Tengah dan bekerja sama dengan Alshaya Group dalam merencanakan strategi untuk wilayah tersebut, meski rencana ini mungkin menghadapi tantangan pada saat ini.
