Program khusus telah diterapkan untuk melibatkan orang tua anak jalanan, Supijan memfokuskan pada metode pendidikan, perlakuan, dan motivasi yang bertujuan untuk mendorong partisipasi anak-anak tersebut dalam pendidikan formal.
Supijan menjelaskan, pengemis dan anak jalanan di Cimahi hampir tidak ditemui, mengingat kota ini menjadi jalur lintasan antara Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Bandung.
“Jadi yang asli pengemis dari Cimahi hampir tidak ada,” singkatnya.
Namun, meskipun beroperasi di Cimahi, pihak Dinsos tetap melakukan intervensi. Sebagai contoh, di depan Borma, pengemis dengan membawa anaknya. Supijan menjelaskan, pihaknya telah mengembalikannya ke rumahnya di Kabupaten Bandung Barat sebanyak lima kali.
“Namun, situasinya terus berulang, mungkin karena tekanan ekonomi yang membuat mereka kembali secara bergiliran,” ungkapnya.
“Kita lebih ke pembinaan sosialnya, bila kita usir dari Cimahi juga hanya memindahkan pengemis itu ke daerah lain di luar Cimahi,” pungkas Supijan.
Ketika diwawancarai usai mengisi bahan bakar, Rusly (46) mengatakan, pengemis badut secara rutin muncul di lokasi tersebut setiap hari. Ia menambahkan bahwa seringkali saat ia berangkat kerja.
“Banyak variasi antara badut dewasa, pengemis perempuan yang memohon bantuan sambil hamil, dan badut yang membawa anak-anak kecil,” ungkap Rusly.
Rusly menuturkan, kekhawatiran dan terganggu oleh situasi tersebut, terutama ketika membawa anak kecil yang masih bayi atau berusia di bawah 10 tahun. Sulit bagi mereka harus duduk di tempat yang panas, menciptakan rasa iba.
“Karena ketika kami selesai mengisi bensin cukup menganggu karena selalu duduk dan berbaring anak-anak kecil tersebut di pintu keluar stasiun pengisian dikhawatirkan juga terlindas ban motor,” ujarnya.
Diharapkan adanya langkah penegakan hukum yang tegas untuk menertibkan praktik mengemis, terutama oleh mereka yang seringkali melibatkan anak-anak. Namun keberadaan mereka dapat mengganggu ketertiban umum. (Mong)