JABAR EKSPRES – Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terus menjadi polemik di kalangan pengusaha.
Hal itu lantaran dalam Pasal 58 ayat 2, khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan pake paling tinggi 75 persen.
Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Penagihan dan Pengendalian pada Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bogor, Anang Yusuf menyebut, bahwa terlepas dari polemik dan penolakan yang ada, pihaknya akan tetap menjalankan amanat Undang-Undang yang juga telah diadopsi dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
“Kalau ada yang keberatan dan protes, silahkan dilayangkan ke lembaga yang berwenang agar dikabulkan. Kami nantinya akan mengikuti keputusannya,” kata Anang saat ditemui Jabar Ekspres kemarin.
Meski begitu, dirinya tak menampik bila sejauh ini beberapa pengusaha hiburan telah melayangkan protes secara lisan soal penetapan pajak 40-75 persen itu.
Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya tak bisa berbuat apa-apa, selain mengikuti kebijakan tersebut.
“Memang kalau dulu ada batas minimal maksimal dalam penarikan pajak. Tapi sekarang kan sudah ditetapkan, dan telah dituangkan di perda baru,” jelas dia.
Kata Anang, dahulu juga sempat terjadi polemik saat golf dijadikan objek pajak, dan hal itu diprotes oleh asosiasi golf.
“Dan pada akhirnya tidak jadi dijadikan objek pajak,” sebutnya.
Bola berkaca dengan kondisi tersebut, sangat dimungkinkan apabila kebijakan itu ditunda atau direvisi. Namun, semuanya tergantung dari kebijakan pusat.
Lebih lanjut, kata Anang, Jumat (19/1) pihaknya akan melaksanakan zoom meeting dengan Kementerian Dalam Negeri untuk membahas mengenai kenaikan pajak tersebut.
Saat ini, kata Anang, di Kota Bogor hanya terdapat 17 wajib pajak (WP) pada sektor karaoke, dan 20 WP pengusaha spa. Sementara untuk pemungutan pajak sebesar 40 persen akan dilaksanakan pada Februari mendatang.
“Februari baru dipungut karena perda baru disahkan 5 Januari 2024. Sementara pajak Desember 2023 yang akan dipungut pada Januari ini, tetap mengacu pada regulasi lama.