JABAR EKSPRES- Peran emas dalam sejarah Islam, baik dari aspek ekonomi maupun budaya, menonjol sebagai bentuk kekayaan yang dihargai dan sah dalam ajaran Islam. Sebagai standar nilai dan alat tukar, mata uang emas seperti dinar emas dan dirham perak menjadi bagian integral dalam sistem ekonomi Islam.
Pada awalnya, bangsa Arab menggunakan sistem barter dan tidak memiliki mata uang sendiri. Namun, mereka kemudian mengadopsi dinar dan dirham sebagai mata uang, sebuah praktik yang berlangsung hingga zaman Nabi Muhammad SAW.
Dalam proses penimbangan bobot dinar dan dirham, Nabi Muhammad SAW dibantu oleh Arqam bin Abi Arqam, seorang ahli tempa emas dan perak.
BACA JUGA : Hati-hati ini 6 Tipu Daya Setan yang Harus Kamu Ketahui
Pada awal abad ketujuh, koin emas belum ada, sementara koin emas dari Bizantium dan perak dari Persia sudah beredar. Bangsa Arab kemudian menjalin hubungan dengan wilayah yang telah mengeluarkan koin selama berabad-abad.
Dinar emas Islam pertama kali dicetak sekitar setengah abad setelah kematian Nabi SAW oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (68 M-705 M). Koin emas ini berbobot 4,4 gram dan mencantumkan tulisan dinar. Pada tahun berikutnya, koin dicetak ulang dengan bobot 4,25 gram mengikuti standar yang ditetapkan Khalifah Umar bin Khattab.
Koin emas pada masa itu dicetak di Damaskus, ibu kota kekhalifahan Umayyah. Khalifah Abdul Malik menggantikan lambang Bizantium dengan kata-kata dari Alquran di dalam koin dan menghilangkan lambang salib. Setiap koin bertuliskan kalimat tauhid.
Selanjutnya, gambar wujud manusia dan binatang digantikan dengan huruf-huruf, menandai penghentian penggunaan gambar dalam mata uang Islam.
BACA JUGA : Kekuatan Doa Perlindungan dari Fitnah Dajjal di Akhir Sholat
Dinar emas berbentuk bundar dengan tulisan tata letak melingkar, memuat kalimat tahlil dan tahmid di satu sisi serta nama penguasa dan tanggal dicetak di sisi lainnya. Koin ini juga sering mencantumkan shalawat kepada Rasulullah SAW dan ayat-ayat Alquran.
Meskipun dinar dan dirham tetap menjadi mata uang resmi hingga runtuhnya Kekhalifahan, penggunaannya sebagai mata uang meluas. Namun, beberapa negara di Timur Tengah masih memanfaatkannya sebagai mata uang. Dinar dan dirham juga digunakan sebagai tolok ukur dalam menentukan nisab zakat oleh para ulama.