JABAR EKSPRES – Tarif layanan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang mengalami kenaikan hingga lima kali lipat, lantaran ada perubahan peraturan daerah. Diharapkan bisa menaikkan juga kualitas pelayanan.
Hal tersebut diungkapkan Penjabat (Pj) Wali Kota Bandung, Bambang Tirtoyuliono. Menurutnya, penyesuaian tarif mesti sejalanan dengan kualitas pelayanan puskesmas. Upaya itu harus didioptimalkan tiap unit pelaksana tugas kesehatan.
Pasalnya, sejak diberlakukan perubahan tarif yang semula Rp3.000 menjadi Rp15.000, Bambang mengatakan bahwa pihaknya belum menerima keluhan masyarakat. Terlebih para pasien yang berobat di puskesmas.
“Tentunya kami berharap tidak ada keluhan,” kata Bambang saat meninjau salah satu puskesmas, kepada wartawan di Bandung, pada Rabu (10/1).
Terlebih lagi, kata Bambang, sejumlah pasien di Kota Bandung sejauh ini tidak terpengaruh penyesuaian tarif tersebut. Lantaran sudah terdaftar sebagai peserta BPJS.
Lantas dirinya mendorong, seiring dengan penyesuaian tarif, puskesmas perlu meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Guna memberi kenyamanan dan keamanan bagi pasien.
“Baik dari segi kenyamanannya, kebersihannya, keramahan petugasnya,” tandasnya.
Diketahui, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai tanggal 5 Januari 2024, seluruh Puskesmas Kota Bandung akan memberlakukan tarif pelayanan terbaru, yakni sebesar Rp15.000.
Bersamaan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung menegaskan, warga tidak perlu khawatir dengan kenaikan tarif layanan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang mengalami kenaikan. Tidak akan berpengaruh.
Kepala Dinkes Kota Bandung, Anhar Hadian memastikan penyesuaian tarif pelayanan Puskesmas tidak berpengaruh pada masyarakat Bandung. Terkecuali bagi pendaftar atau pasien umum.
Sementara, katanya, pengguna BPJS dan UHC tidak akan terdampak penyesuaian tarif tersebut. “Di sisi lain, 99 persen masyarakat Kota Bandung telah terdaftar di BPJS,” kata Anhar.
Adapun yang selama ini digunakan adalah tarif lama berdasarkan Perda tahun 2010. Hampir 14 tahun yang lalu. Menurutnya, hal tersebut dianggap tidak sejalan dengan biaya yang perlu dikeluarkan untuk keperluan obat-obatan
“Sementara harga kebutuhan untuk obat alat kesehatan dan lain sebagainya kan tiap tahun juga naik,” pungkasnya.