KURASI MEDIA – Rezeki dianggap sebagai anugerah dari Allah kepada hamba-Nya, yang diharapkan dapat meningkatkan ketakwaan dan digunakan sesuai dengan kehendak-Nya. hakikat rezeki berasal dari bahasa Arab, ar-Rizqu, yang mengandung arti memberi atau pemberian.
Menurut Ibnu Abdis Salam, ar-rizqu berakar dari al-hazhzhu, yang artinya bagian atau porsi, sehingga apa pun yang diberikan sebagai bagian seseorang dari pemberian Allah dianggap sebagai rezeki. Dalam konteks ini, rezeki tidak hanya berarti harta, tetapi juga kesehatan, tubuh yang sempurna, keamanan, ketentraman, keimanan, dan lainnya.
Buku “Istri-Istri Pembawa Rezeki” karya Aulia Fadhli menekankan bahwa rezeki tidak hanya terbatas pada harta, melainkan juga mencakup hal-hal seperti kesehatan, udara segar, kebebasan, dan kebahagiaan keluarga.
BACA JUGA : Bukti Bahwa Orang Tua Menjadi Salah Satu Pintu Surga
Oleh karena itu, rezeki perlu disyukuri dalam berbagai bentuknya. Meskipun banyak usaha manusia dilakukan untuk mencari rezeki, terkadang penting untuk mengingat bahwa kesehatan dan kesempatan juga termasuk dalam nikmat yang sering dilupakan, seperti yang diingatkan oleh Rasulullah.
Para ulama, seperti Ibnu Al-Munzur, Syeikh Nawawi bin Umar Al-Jawi, Syeikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, dan Quraish Shihab, memberikan pemahaman lebih lanjut tentang rezeki. Ibnu Al-Munzur membedakan rezeki menjadi dua bentuk utama, yaitu yang terlihat secara lahiriah dan yang bersifat batiniah untuk hati dan jiwa.
Syeikh Nawawi menyatakan bahwa rezeki melibatkan segala hal yang bermanfaat bagi makhluk bernyawa, termasuk ilmu pengetahuan dan wawasan. Syeikh Muhammad Mutawalli mengatakan bahwa rezeki tidak hanya terbatas pada harta, melainkan juga mencakup kesehatan, anak yang saleh, dan ridha Allah.
Quraish Shihab menekankan bahwa segala sesuatu yang didapatkan dan dimanfaatkan, baik itu bersifat material atau non-material, dianggap sebagai rezeki.
BACA JUGA : Jangan Sampai Indonesia Dipenuhi Generasi Qila wa Qala