Naskah Khutbah Jum’at Tentang Meraih Hikmah Ketika Sakit 

‌مَا ‌يَزَالُ ‌البَلَاءُ ‌بِالمُؤْمِنِ ‌وَالمُؤْمِنَةِ ‌فِي ‌نَفْسِهِ ‌وَوَلَدِهِ ‌وَمَالِهِ ‌حَتَّى ‌يَلْقَى ‌اللَّهَ ‌وَمَا ‌عَلَيْهِ ‌خَطِيئَةٌ

“Ujian senantiasa menimpa orang mukmin pada diri, anak dan hartanya hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu kesalahan pun atasnya.” (HR. Tirmidzi)

Maka ketika seseorang sedang sakit hendaknya dia yakin serta berharap bahwa sakit yang dideritanya adalah perantara untuk menghapuskan, membersihkan dan menyucikan jiwa dari dosa-dosa.

Rasulullah ﷺ merumpamakan antara seseorang yang sedang sakit dengan dosanya itu ibarat pohon yang sedang berguguran daun-daunnya.

‌مَا ‌مِنْ ‌مُسْلِمٍ ‌يُصِيبُهُ ‌أَذًى ‌مِنْ ‌مَرَضٍ ‌فَمَا ‌سِوَاهُ ‌إِلَّا ‌حَطَّ ‌اللهُ ‌بِهِ ‌سَيِّئَاتِهِ، ‌كَمَا ‌تَحُطُّ ‌الشَّجَرَةُ ‌وَرَقَهَا

“Tidak ada seorang muslim yang ditimpa cobaan berupa sakit dan sebagainya, melainkan dihapuskan oleh Allah Ta’ala dosa-dosanya, seperti sebatang pohon yang menggugurkan daunnya.” (HR. Muslim)

Hal inilah yang menjadikan sahabat Mulia Abu Dzar Al-Ghifari mencintai sakit karena dengan perantara sakit itulah dia berharap akan menjadi kaffarah dosanya.

أُحِبُ الجُوعَ لِيَرِقَّ قَلبِي، وَأُحِبُ المَرَضَ لِيَخِفَّ ذَنبِي، وَأُحِبَ المَوتَ لِألقى رَبِي

“Aku mencintai lapar karena hal tersebut dapat melembutkan hati, sakit karena dapat menggugurkan dosa, dan saya mencintai kematian untuk dapat bertemu Rabb-ku.” (Dalil Al-Wa’id, Shakhar, 2/212)

Dhuyufurrahman Tamu Undangan Allah Yang Berbahagia.

Ketiga, Sakit Dapat Mengangkat Derajat Seorang Hamba Di Sisi-Nya.

Apabila Allah menguji seorang hamba dengan suatu penyakit maka hendaknya dia sabar serta berbaik sangka kepada-Nya. Sebab ada suatu derajat di akhirat yang disiapkan Allah secara khusus, kedudukan tersebut tidak bisa diraih dengan amalan-amalan, namun hanya bisa dicapai melalui perantara ujian-ujian yang menimpa hamba-Nya.

إِذَا ‌سَبَقَتْ ‌لِلْعَبْدِ ‌مِنَ ‌اللهِ ‌مَنْزِلَةٌ ‌لَمْ ‌يَبْلُغْهَا ‌بِعَمَلِهِ، ‌ابْتَلَاهُ ‌اللهُ ‌فِي ‌جَسَدِهِ ‌أَوْ ‌فِي ‌مَالِهِ ‌أَوْ ‌فِي ‌وَلَدِهِ، ‌ثُمَّ ‌صَبَّرَهُ ‌حَتَّى ‌يُبْلِغَهُ ‌الْمَنْزِلَةَ ‌الَّتِي ‌سَبَقَتْ ‌لَهُ ‌مِنْهُ

“Bila seorang hamba memperoleh kedudukan tinggi disisi Allah dan ia tidak bisa meraihnya dengan amalannya, Allah mengujinya pada diri, harta, atau anaknya kemudian ia bersabar hingga mengantarkannya kepada kedudukan yang diraihnya.” (HR. Ahmad)

Keempat, Sakit Dapat Menyadarkan Hamba Dari Kelalaian Kepada Allah.

Lalai adalah salah satu pintu setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam gelapnya dosa dan maksiat, Ia jadikan manusia terbuai dengan bisikan dan janji manisnya, terus-menerus terjerumus dalam syahwat, sehingga tanpa sadari ia telah jauh dari Allah SWT.

Sungguh amat sedikit, mereka yang sadar dan mampu untuk Kembali mengabdi, tunduk dan patuh pada perintah-Nya.

Maka diantara cara Allah menegur, mengingatkan, dan menyadarkan hamba-Nya yang lalai adalah dengan memberikan ujian berupa sakit yang dideritanya sebagai tanda dan sinyal agar seorang hamba Kembali, tunduk dan bertaubat kepada-Nya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan