Kusman mengatakan, kesinambungan antara program P5 di sekolah dan kebiasaan di lingkungan siswa adalah kunci utama. Menurutnya, kolaborasi yang sinergis antara keduanya dapat memperkuat dampak positif dan menciptakan perubahan berkelanjutan dalam perilaku dan pola pikir siswa.
“Jadi perubahan karakter itu tidak bisa dibangun dari sisi sekolah saja, perlu ada kontribusi dari masyarakat di rumah,” jelasnya.
Dalam upaya menciptakan kesadaran lingkungan, salah satu ekstrakulikuler di SMKN 2 telah berhasil melakukan aksi pemungutan sampah di sekolah. Mereka tak hanya mengelolanya dengan konsisten, tapi juga menjadikannya sumber pendapatan melalui penjualan, yang kemudian dikelola untuk membiayai berbagai kegiatan ekstrakurikuler.
“Ada eksul di Robotik, mereka masih konsisten sampai sekarang untuk mengelola sampah, jadi hari Selasa dan Kamis mereka memungut sampah di area sekolah. Untuk sampah yang memiliki nilai ekonomi mereka kumpulkan dan dijual untuk menambah biaya kegiatan ekstrakulikuler, itu merupakan salah satu keberhasilan dari pengelolaan sampah,” kata Kusman.
Demi peningkatan upaya pengelolaan sampah, SMKN 2 merencanakan pemasangan mesin penghancur sampah dan membangun incinerator untuk mengelola sampah berbahaya. Langkah ini diambil sebagai bagian dari komitmen sekolah untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
“Program selanjutnya ingin punya mesin penghancur sampah, setidaknya mesin penghancurnya dulu. Mungkin jauh kedepannya kalau kita ada yang membiayai mungkin bisa membuat semacam incinerator untuk pengelolaan sampah B3 yang susah dibuang,” jelas Kusman.
Kusman menekankan bahwa keberhasilan Program P5 sesungguhnya terlihat pada terbentuknya kebiasaan berkelanjutan di siswa, di mana pun mereka berada. Perubahan yang harus diterapkan ini melibatkan 1.800 siswa di SMKN 2 Cimahi, yang diharapkan membentuk kebiasaan baru.
“Yang menjadi PR kami saat ini adalah pembiasaan pada siswa yang bisa terbawa sampai kemana-mana. Kalau di kami keberhasilan P5 itu secara hakikatnya adalah terbentuk habitat di siswa yang menjadi kebiasaan positif terutama dispilin dalam membuang sampah. Ini juga mungkin perubahan dimulai dari sekolah untuk membuat habitat baru yang memang mengubah kebiasaan, dan mindset 1.800 siswa itu tidak mudah,” tegasnya.