JABARESKPRES – Setelah Bacapres Anies Baswedan memilik Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Cawapres, mekanisme pemilihan cawapres ini akhirnya terkuak setelah salah satu loyalis Anis Geisz Chalifa buka suara.
Menurut Geisz, Anies Baswedan memilih Cak imin karena ada pertimbangan dan hitung-hitungan suara untuk wilayah Jawa Timur yang polpularitas Anies belum cukup signifikan.
Dari beberapa tokoh yang ingin dijadikan Cawapres anies, sebetulnya sudah dikantongi tiga nama. Di antaranya, Khofifah Indar Parawangsa, Cak Imin dan AHY.
‘’Jadi posisi AHY ini sengaja ditempatkan sebagai Cawapres nomer tiga pilihan Anies,’’ kata Geisz dalam acara tayangan Youtube Indonesia Law Club (ILC) Karni Ilyas.
Dalam perbincangan dilingkaran tim sukses, Khofifah sebetulnya menjadi target Anies. Tapi karena sesuatu hal akhirnya diputuskan Cak Imin.
Hanya saja Cak Imin waktu itu masih bergabung dengan koalisi yang mendukung Prabowo. Sehingga butuh lobi-lobi khusus untuk membujuk Cak imin masuk koalisi KKP.
Salah satu alasan AHY ditempatkan diposisi ketiga karena berdasarkan hasiul survei di Jatim, elektabilitas AHY tidak mampu mendongkrak suara.
‘’Jadi alih-alih menambah suara, justru pasangan AHY dan Anies tak dapat elektabilitas yang signifikan, khususnya di Jatim’’ kata
Menurut Geisz selama perjalanan berbulan-bulan elektabilitas AHY enggak ada perubahan. Kalau pun naik tipois sekali.
“Jadi antara Anies dan AHY tidak menambah ceruk baru, karena beririsan,’’ ujar Geisz.
Sementara itu, Pengamat politik Rocky Gerung menilai, pemilihan Cak Imin sebagai Wacapres Anies Baswedan tentu sangat melukai Partai Demokrat.
Duet ini seharusnya bisa dirumuskan dengan Demokrat. Tapi tidak dilakukan karena ada pertimbangan kuantitatif yang merujuk pada pertimbangan perolehan suara.
Dengan begitu, Partai Demokrat berhak mencap anies Baswedan sebagai pengkhianatan.
Menurutnya, hubungan antara Anies dan Cak Imin sebetulnya bisa disebut a taking the impossible atau disebut tidak bisa dibayangkan.
Akan tetapi, pada prosesnya bisa terjadi. Sehingga dirumuskan oleh Partai Demokrat sebagai pengkhianatan.
Menurut Rocky, sejauh ini Partai Demokrat dalam berpolitik selalu mempertimbangkan harapan etis dan harus ada jejak yang tidak menginginkan pertimbangan kuantitatif.