JABAR EKSPRES – Musim kemarau 2023 ini tengah jadi sorotan publik. Pasalnya selain dampak kekeringan yang tergolong panjang, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) pun terjadi di sejumlah wilayah.
Wilayah Provinsi Jawa Barat pun mengalami beberapa titik Karhutla, salah satunya di Gunung Guntur, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut pada Kamis, 7 September 2023 lalu.
Ketua BP FK3I Jawa Barat sekaligus Ketua Dewan Daerah Walhi Jabar, Dedi Kurniawan mengatakan, insiden terjadinya Karhutla di Gunung Guntur sangat disayangkan.
BACA JUGA: Upaya Pemadaman Karhutla di Kawasan Bromo Sudah Dilakukan, Tim Gabungan Lakukan Proses Pendinginan
“Karena dampaknya sangat serius. Ekologi, keberlangsungan hidup flora dan fauna juga bisa hilang akibat Karhutla,” kata Dedi kepada Jabar Ekspres melalui seluler, Selasa (11/9).
“Apalagi ini lahan yang terbakarnya kawasan hutan bukan kawasan lahan pemanfaatan,” lanjutnya.
Diketahui, Karhutla di Gunung Guntur berawal dari adanya aktivitas kelompok remaja yang melakukan pendakian.
Mereka membuat api dengan bahan bakar tanaman kering, tujuannya untuk menghangatkan tubuh, namun pada akhirnya api menjalar hingga membakar hutan.
Dedi menjelaskan, menyalakan api unggun tidak bisa sembarangan, terutama jika berada di kawasan hutan pada musim kemarau, sebab ranting-ranting kering sangat mudah tersulut dan api cepat menjalar.
“Memang dalam hal ini edukasi dan sosialisasi terkait beraktivitas di alam, masih belum meluas dan belum dipahami oleh masyarakat,” jelasnya.
Melalui informasi yang dihimpun Jabar Ekspres, kobaran api yang membakar kawasan hutan Gunung Guntur, terjadi di area Blok Tegal Malaka. Akibat api yang menjalar cukup cepat, sehingga kebakaran baru padam selama sehari, dengan melibatkan banyak petugas gabungan.
Melansir data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), tercatat luas lahan hutan yang habis terbakar sekira 59,24 hektare. Adapun beragam jenis tumbuhan di Gunung Guntur Blok Tegal Malaka yang terbakar itu, antara lain alang-alang, kaliandra dan beberapa pohon pinus.
Dedi menerangkan, disamping minimnya literasi pemahaman terkait aktivitas manusia di kawasan alam, Karhutla masih banyak terjadi akibat kurangnya pengawasan serta lalainya pengelola dalam bersikap.