Sebelumnya, undang-undang di Prancis melarang simbol-simbol agama, termasuk jilbab, salib besar, dan kippah, di sekolah-sekolah.
Menurut Collective Against Islamophobia in France, sebuah kelompok nirlaba yang berusaha melawan diskriminasi terhadap Muslim di Prancis, 70 persen tindakan Islamofobia dan ujaran kebencian ditargetkan kepada perempuan.
BACA JUGA : Junta Myanmar Keluarkan Diplomat Utama Timor Leste Usai Pertemuan Presiden dengan Anti-Junta
Lamya, seorang mahasiswa bisnis di pinggiran Paris, mengenal banyak perempuan yang berhenti memakai jilbab karena takut diisolasi atau kesulitan mencari pekerjaan.
Bagi yang tetap memakai jilbab, pilihan mereka adalah keluar dari universitas sepenuhnya. Diskriminasi juga terjadi di tempat kerja, di mana pekerja Muslim yang berjilbab sering kali dianggap sulit diterima.
Fatima Benti, Ketua Organisasi Feminis dan Antirasis Interseksional Lallab yang berbasis di Paris, mengkritik pandangan yang memandang perempuan Muslim sebagai korban tanpa kebebasan. Pandangan ini menurutnya bersifat Eurosentris, rasis, seksis, dan Islamofobia.
Kebijakan larangan terhadap simbol-simbol agama seperti hijab sebenarnya tidak berkaitan dengan pembebasan perempuan Muslim, melainkan merupakan manifestasi dominasi agama minoritas yang bersifat rasialis dan kolonial.