”Waktu itu di rumah ada sekitar 15 orang, termasuk cucu-cucu saya yang masih kecil. Saat polisi mendobrak sekitar pukul 23.00 lebih, mereka menduga ada provokator karena ada banyak sepatu. Padahal, di dalamnya hanya anak-anak saya yang bermain,” ujar Yeti.
Kita memang bangsa yang selalu belajar tentang menghargai sesama, menghormati sesama dan selalu berbuat baik kepada semua manusia.
Saya menulis ini bukan karena kebencian saya terhadap Polisi, hubungan kemanusiaan antara saya dan kawan-kawan yang memilih jalur menjadi Polisi baik-baik saja.
Jauh, sebelum saya mengenal teori politik apapun, kami sudah berteman, berkawan, dan bersama-sama saling tukar cerita pengalaman hidup dan cita-cita masa depan.
Tugas saya adalah menjelaskan kepada kawan-kawan saya yang terlanjur masuk ke dalam institusi tersebut untuk bisa memahami konteks kehidupan. Bagaimana kemudian kekuatan mereka serta tenaga mereka disalahgunakan kapitalisme global, oligarki dan setan lainnya.
Perlahan, namun dengan harapan besar. Secara berangsur-angsur mereka sadar dan paham. Mampu melakukan sabotase terorganisir untuk kehidupan yang lebih majemuk, setara, anti otoritan, mutual dan ribuan imajinasi utopia lainnya.
Tetapi teruntuk kawan-kawan yang sudah masuk ke dalam sistem yang membusuk. Lekaslah sembuh, mari bangun kehidupan masyarakat yang lebih baik. Meski panjang dan berat, tidak ada yang tidak mungkin. Panjang umur solidaritas!