JABAR EKSPRES — Kasus perundungan atau bullying menjadi diantara tiga dosa pendidikan di Indonesia yang belum terselesaikan.
Seiring berkembangnya zaman perundungan beraneka ragam menjadi hantu yang menakutkan di dunia pendidikan.
Tidak hanya kontak fisik dan melemahkan psikis. Namun juga berkembang menjadi mengomentari sinis dan seksisme di sosial media atau cyberbullying.
BACA JUGA: Polemik Al-Zaytun, Panji Gumilang akan Dipanggil Mahfud MD Pekan Depan
Peneliti Pusat Riset Gender dan Anak Unpad, Antik Bintari menyebutkan perilaku bullying ini memberikan dampak negatif pada pelaku dan korban.
Menurutnya, pada korban akan mengalami depresi secara psikologis yang akhirnya terganggu juga secara prestasi akademik.
“Korban psikologi bisa jadi depresi, menghindari sekolah, tingkat kecerdasannya akan menurun bahkan bisa mengakhiri hidupnya, atau kemarahan yang bisa mengekspresikan lagi ke orang lain, ada juga anak yang akhirnya jadi pendiam,” kata Antik saat dihubungi oleh Jabarekspres, Senin 3 Juli 2023.
Sementara, dampak negatif terhadap pelaku akan menormalisasi kekerasan, bersikap impulsif dan tak memiliki empati.
Selain itu, dampak negatif juga akan terjadi pada orang yang menyaksikan, di era teknologi canggih saat ini, upaya melerai tak ada selain mengambil video untuk memviralkan-nya.
Hal tersebut, kata Antik, akhirnya menjadikan normalisasi kekerasan seharusnya mencegah atau melaporkannya pada guru.
BACA JUGA: Siagakan Tim Cyber, Polisi Beberkan 13 Titik Rawan Gengster di Kota Bogor
“Dampak pada orang yang menyaksikan berbahaya kalau membiarkan, yang sekarang dilakukan memvideokan ini seharusnya tenaga pendidik melatih mereka agar merespon mencegah kekerasan karena bisa normalisasi,” tutur Antik.
Meski pun, saat ini pengajaran mengenai empati tak masuk dalam kurikulum pendidikan formal. Akan tetapi, pengajaran dan penanaman nilai mengenai hal ini perlu diajarkan oleh guru kepada murid-muridnya.
“Guru harus punya peran itu. Wajib menyampaikannya, berempati, murid cepat tanggap kalau ada sesuatu yang buruk pada temannya. Disebutnya pendidik karena beban mengajarnya berat tak sekedar mendidik namun juga mengajar. Mendidik itu maknanya dalam,” beber Antik.
Oleh sebab itu, guru bisa menyampaikan pengajaran empati melalui proses pembelajaran, yang mengapresiasi murid atau metode belajar ramah anak.