JABAR EKSPRES – Aksi perundungan nampaknya masih menghantui para pelajar di Kota Bandung. Terbaru, sebagaimana yang terjadi di wilayah Cicendo, Kota Bandung dengan korban dan pelaku siswa SMP pada awal Juni lalu.
Menurut Sosiolog yang juga Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya, Asep Salahudin, aksi perundungan atau bullying pada pelajar bisa terjadi salah satunya karena ekspresi kekecewaan terhadap keluarga.
Asep menguraikan, setidaknya ada tiga kelompok utama yang harus berbenah terkait adanya aksi perundungan bagi pelajar. “Ada banyak faktor, tidak satu variabel saja penyebabnya,” jelasnya kepada Jabar Ekspres.
Asep menjabarkan, ketiga kelompok itu adalah dari guru dan penyelenggara pendidikan, orang tua atau keluarga dan pelajar itu sendiri. Di lingkungan keluarga atau orang tua misalnya, siswa terpaksa melakukan perundungan bisa jadi karena sebagai ekspresi kekecewan atas kehidupan di keluarganya.
Menurut Asep, gejala sosial dalam masyarakat tidak muncul dari ruang hampa, tetapi dapat dipicu dari faktor-faktor terdekat. Keluarga menjadi lingkungan terdekat bagi para siswa. Mereka memiliki cukup banyak intensitas interaksi di lingkungan tersebut.
Oleh karena itu, para orang tua juga harus mau dan berani untuk melakukan otokritik pembenahan terhadap siswa di lingkungannya. “Kalau keluarga baik saya kira lingkungan lain juga akan baik. Mungkin juga itu jadi ekspresi ketika mereka tidak menemukan role model yang baik,” terangnya.
Kemudian, lanjut Asep, masih adanya perundungan di kalangan pelajar juga perlu menjadi evaluasi bagi para guru atau penyelenggara pendidikan. Kurikulum yang berjalan dan cara kepengajaran perlu mendapatkan evaluasi. Para guru juga perlu untuk terus diupgrade.
“Sehingga apa yang disampaikan guru tidak hanya menyelesaikan soal kemampuan kognitif siswa tapi juga aspek budi pekerti,” cetusnya.
Asep mengambil contoh kasus tabungan siswa SD di Pangandaran. Hal itu, tentu menjadi catatan miring juga bagi sosok guru yang semestinya bisa dijadikan teladan. “Sekarang era media sosial, siswa di daerah lain juga bakal mengetahui peristiwa itu,” sambungnya.
Dari sisi kurikulum, sebenarnya sejak lama, pendidikan soal budi pekerti atau pemahaman tentang pengamalan pancasila juga telah dilakukan di dunia pendidikan. Saat ini pun, masih berlangsung dan dikenal dengan istilah Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).