Pada saat berlakunya Perda tersebut, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada 10 Februari 2021 lalu. “Apakah masyarakat tahu dalam Perda ini ada sanksi?,” tanya Antik.
Karenanya, menurut Antik sosialisasi hingga pembekalan secara intens untuk membentuk pemahaman serta kepekaan setiap elemen, dinilai harus jadi prioritas.
Selain regulasi dan aturan perlindungan anak yang dinilai lengkap meski belum maksimal pengaplikasiannya, namun masyarakat secara bertahap mulai peduli terhadap perlindungan anak.
“Sekarang ada KUPI, Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Di dalamnya ustadz dan ustdazah yang peduli terhadap perlindungan anak,” ujar Antik.
BACA JUGA: Bandung Turunkan Angka Stunting
Diketahui, KUPI berfokus terkait sejumlah permasalahan, mulai kekerasan anak dan kekerasan seksual, ekstremisme, disabilitas, perkawinan anak, hingga isu lingkungan yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, khususnya perempuan.
Sejumlah isu tersebut dibahas dengan berbagai macam perspektif, mulai agama, sains, hingga paradigma sosial sehingga menjadi pembahasan yang komprehensif.
Merujuk data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan anak di dalam negeri pada 2022 lalu.
Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi.
“Kepedulian masyarakat juga penting, tidak hanya orang tua. Level pemeritah, warga sekitar dan internal yakni keluarga itu penting,” tuturnya.
Antik memaparkan, peran serta masyarakat di Pasal 72, peran pemerintah dan peran orangtua itu tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Pemerintah bisa berkolaborasi dengan pihak-pihak tertentu. Itu akan jauh lebih baik ketika pemerintah daerah yang menekankan kolaborasi dengan beragam komitmen,” pungkas Antik. (bas)