Sepinya pembeli sepatu di Cibaduyut, memberikan dampak yang signifikan terhadap perajin sepatu Cibaduyut. Doni Arsandi (45) salah satu perajin yang merasakannya.
Selain memberikan dampak ekonomi terhadap perajin. Generasi-generasi muda yang ingin melestarikan profesi perajin sepatu di Cibaduyut pun terancam hilang.
Ruang tamu rumah Doni, menjadi saksi bisu akan kepiawaiannya dalam membuat sepatu. Keahlian membuat sepatu tidak mengalir secara keturunan dalam darah Doni. Akan tetapi, Doni sengaja belajar untuk membuat sepatu kepada tetangganya ketika dirinya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Saat itu, di usianya yang masih terbilang muda, kelas 4 SD. Doni sudah dapat membuat upper sepatu. Doni yang merupakan anak dari ayah yang pensiunan PJKA (PT. Kereta Api) itu, mendapatkan pengaruh baik dari lingkungan rumahnya, untuk belajar membuat sepatu.
“Iya. Kelas 4 SD udah bisa. Bikin upper, bikin muka atasan (sepatu). Enggak keseluruhan. Cuman bikin atasan aja,” kisah Doni kepada Jabarekspres, Rabu (31/5).
Hari berganti, jam pun terus berdecak. Ketika Doni duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), Doni baru bisa membuat sepatu secara utuh. Hingga hari ini, profesi itu lah yang digeluti oleh Doni untuk berjuang dalam hidup.
Sekarang, kondisi Doni sebagai pengrajin sepatu Cibaduyut dapat dibilang mengibakan. Lantaran, Doni sudah lama berhenti mendapatkan orderan dari toko-toko sepatu di Cibaduyut sejak tahun 2012. Sebelumnya, Doni adalah salah satu pengrajin sepatu yang diandalkan oleh toko-toko di Cibaduyut.
“Kalau dulu gitu. Kalau sekarang mah enggak. Kalau ada yang nyuruh ada yang pesan model apa saja oke,” cakapnya.
Faktor lain yang membuat Doni berhenti merima orderan dari toko, selain karena toko sepatu yang sepi pembeli. Adalah faktor modal. Ketika toko menggunakan jasa Doni untuk membuat sepatu. Toko hanya akan membayar Duit Panjar (DP) saja. Sisanya, Doni memerlukan modal tambahan untuk dapat memenuhi pesanan sepatu dari toko terkait.