JABAR EKSPRES – Baru-baru ini, masyarakat online di hebohkan oleh video syur yang menampilkan seorang wanita yang di sangka mirip dengan aktris Rebecca Klopper. Banyak yang menyebut insiden tersebut sebagai ‘revenge porn’. Lalu, apa itu revenge porn?
Revenge porn, seperti yang melansir dari Britton Time. Hal ini mengacu pada penyebaran materi pribadi yang eksplisit secara seksual mengenai seseorang tanpa persetujuan dari mereka yang bersangkutan.
Revenge porn dapat di lakukan baik secara online maupun offline.
Misalnya, pelaku bisa menyebarkannya melalui pesan teks, aplikasi pesan instan seperti WhatsApp atau email, mengunggahnya ke situs-situs pornografi atau forum, menunjukkannya secara fisik kepada orang lain, mencetak atau mengunduhnya ke media digital, lalu mendistribusikannya.
Baca Juga:Daftar Tempat Bakso Berukuran Jumbo di BandungDaftar HP Samsung M Series yang di Dukung Jaringan 5G, Nomor 4 Punya Baterai Super Jumbo!
Umumnya, revenge porn melibatkan salah satu pasangan atau mantan pasangan yang menyebarkan foto-foto pasangannya.
Pelaku seringkali melihat tindakan ini sebagai ‘balasan’ atas dugaan kesalahan yang di lakukan oleh pasangannya.
Dampak dari revenge porn ini bisa sangat parah bagi korban dan dapat menimbulkan kecemasan, depresi, gangguan stres pasca trauma (PTSD), kesulitan dalam hubungan saat ini atau di masa depan, serta kesulitan dalam karier saat ini atau di masa depan.
Dalam beberapa kasus, korban bisa kehilangan pekerjaan atau menghadapi konsekuensi finansial yang serius.
Namun, ada beberapa pihak yang mengkritik penggunaan istilah “revenge porn” untuk menggambarkan bentuk kekerasan ini dalam upaya meningkatkan kesadaran.
Hal ini di karenakan istilah ini mengandung implikasi berbahaya dan di anggap menyesatkan.
Mary Anne Franks, seorang peneliti yang fokus pada pelecehan online, kebebasan berbicara, diskriminasi, dan kekerasan.
Baca Juga:Panduan Aktivasi Akun dan Pengajuan Akun PPDB Jakarta 2023 Tingkat SMP/SMA/SMKPsikolog Sebut Dampak Berbahaya yang Bisa Terjadi pada Rebecca Klopper dan Peringatan bagi Netizen
Di sisi lain, Purple Code, sebuah kelompok feminis di Indonesia mengungkapkan. Bahwa penyebaran gambar intim tanpa persetujuan, seperti bentuk kekerasan berbasis gender lainnya, seringkali di lakukan untuk mempertahankan hierarki kekuasaan yang melibatkan kontrol dan dominasi atas korban, bukan semata-mata balas dendam.