JABAR EKSPRES – Krisis Moneter Asia 1997 merupakan salah satu krisis keuangan terparah yang melanda Asia. Korban dari krisis ini rata-rata negara yang berada di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara.
Awalnya, krisis moneter ini terjadi di Thailand pada 2 Juli 1997. Dari Thailand, krisis ini cepat menyebar ke berbagai negara Asia lainnya.
BACA JUGA: Pena 98 Gelar Kegiatan Refleksi 25 Tahun Reformasi
Penyebab Krisis Moneter Asia
Penyebab krisis ini adalah “hot money bubble” atau uang gelembung panas. Saat itu, di akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an, banyak negara Asia yang mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 8 hingga 12 persen dalam PDB. Negara yang mengalami hal tersebut seperti Thailand, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia.
Namun, pertumbuhan tersebut diiringi risiko besar yang telah mengintai. Hal ini didorong oleh kegiatan ekspor dan investasi asing. Dengan kegiatan tersebut, menyebabkan peningkatan pinjaman luar negeri dan memperbesar dampak valuta asing.
BACA JUGA: Makam Hafidin Royan, Pejuang Reformasi yang Kerap Dikunjungi Setiap Mei di Bandung
Akhirnya, hal yang ditakutkan itu pun terjadi. Kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan tingginya suku bunga yang diterapkan menyebabkan banyak investor yang menarik diri dan dananya karena takut.
Saat inilah yang menyebabkan gelembung uang panas Meletus.
BACA JUGA: Miris! Investasi Negara Islam di Indonesia Begitu Sepi
Dampak Krisis Moneter Asia
Meletusnya gelembung uang panas ini menyebabkan pertumbuhan ekspor terhalang dan investasi asing serta harga aset mulai berjatuhan.
Akhirnya, nilai mata uang Thailand mengalami penurunan terhadap dollar AS. Ditambah lagi, utang luar negeri Thailand yang ikut membengkak.
Tidak lama setelah itu, negara Asia Timur dan negara Asia Tenggara lainnya mulai mengalami hal yang sama. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand merupakan negara terparah dalam kasus ini.
BACA JUGA: Wow! Utang Pemerintah Indonesia Capai Rp7,87 Kuadriliun, Masih Amankah?
Krisis Moneter Asia 1997 ini menimbulkan krisis ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia pada tahun 1998. Hal ini akhirnya dikenal dengan “krisis 98”.