Darurat Pasar Ramah Anak

Semisal, bisa dimulai dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), menyoroti pemenuhan hak atas anak. Lalu, menyoal tempat bermain dan area anak, diselesaikan oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3).

 

“Makanya sebuah kota itu harus inklusi. Artinya, biar anggarannya itu responsif terhadap anak. Harusnya yang memang dilakukan seperti itu,” tuturnya.

 

“Apakah mereka mau menindaklanjuti arahan dari pemerintah terkait perencanaan penganggaran responsif gender? Itu amanat dari Inpres No 9 Tahun 2000,” sambungnya.

 

Aturan dan kewajibannya sudah tersedia. Jadi, kata Antik, apabila masih belum terlaksana, berarti ada masalah. Padahal isu anak adalah kewajiban yang harus dipenuhi tiap daerah. Nonpelayanan dasar. Artinya, itu harus dikerjakan pemerintah. Didesentralisasikan.

 

Dia menegaskan, pada akhirnya, terkait isu-isu anak, perempuan, dan kesejahteraan gender bukan hanya urusan DP3A. Lantaran dinas tersebut mengatur sebagian kecil. Sisanya, tersebar di semua dinas.

 

Senada, Advocacy Manager Save the Children Indonesia, Andri Yoga Utami pun membenarkan, betapa pentingnya konsep pasar ramah anak. Anak-anak yang tinggal dalam jangka waktu lama di pasar, menurutnya, dibayangi masalah hak perlindungan.

 

Pertama, mereka berisiko bersinggungan dengan eksploitasi ekonomi. Seperti halnya anak-anak yang terpaksa bekerja, termasuk mengancam  hak pendidikan mereka.

 

Kedua, anak-anak yang tidak sepenuhnya tinggal, tetapi cenderung lebih banyak menghabiskan waktu di pasar. Mereka berisiko kehilangan jam-jam untuk berinteraksi dengan teman sebaya.

 

“Kurang waktu belajar, kemudian juga kurang istirahat. Tentu akan mempengaruhi kemampuan akademik anak,” jelas Andri saat dihubungi, Jumat (28/4).

Lalu, munculnya risiko ketidakstabilan pembentukan karakter anak. Karakter orang di pasar amat beragam. Begitupun dengan latar belakangnya. Tidak menutup kemungkinan, anak berisiko terpapar orang dewasa yang mempunyai perilaku kekerasan.

“Baik itu secara verbal, fisik maupun seksual. Karena pada faktanya ditemukan juga kasus-kasus lokasinya ada di pasar,” ujar Andri.

Terlebih, lanjutnya, anak korban kekerasan di lingkungan pasar, baik itu fisik, emosional maupun seksual, tentunya bakal mempengaruhi mental anak. Ada dua akibat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan