BANDUNG – Dugaan kongkalikong antara pemandu kebijakan dengan para investor tampaknya membuahkan hasil. Hal ini diketahui berdasarkan fakta di lapangan melalui realisasi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Sejak disahkannya Omnibus Law atau UU Cipta Kerja pada 2020 silam, membuat status pekerja Tanah Air semakin tidak jelas dan menguntungkan perusahaan.
Walhasil, polemik soal penolakan UU Cipta Kerja terus mengalir hingga saat ini. Materi dan proses penyusunannya dianggap bermasalah, dan penerapannya pun dinilai sangat merugikan para pekerja. Bahkan, Mahkaman Konstitusi (MK) melalui uji formil undang-undang tersebut menganggap inkonstitusional bersyarat.
Dampak dari disahkannya UU Cipta Kerja itu kemudian dirasakan langsung oleh salah satu pegawai swasta di Kota Bandung, Alin (24). Alin mengaku, dipaksa harus bekerja lembur oleh perusahaan tempat ia bekerja tampa menerima upah yang layak.
“Sekarang disuruh lembur terus, kerja dari jam 8 pagi sampai 5 sore. Terus lanjut lembur jam 7 malam sampai jam 10 malam. Belum lagi tiap dua hari harus live Subuh dari jam 2 pagi sampai jam 4 pagi,” keluh Alin Kepada Jabar Ekspres, kemarin.
Selain itu, upah yang diberikan pun jauh dari ketetapan yang tertuang di dalam aturan yang berlaku. Alin mengaku, selama dua hari kerja lembur siang dan malam hanya dibayar Rp 35 ribu oleh pihak perusahaan tempat ia bekerja.
“Setiap hari lembur, dalam waktu 2 hari itu ‘kan ada yang malam terus dilanjut Subuh itu dibayar cuman Rp 35.000, di hari biasa juga yang live-nya cuman malam sama aja dibayarnya,” jelasnya.
Ini tentunya jauh di bawah standar yang ditetapkan. Apabila mengacu pada perhitungan pemberian upah, dalam satu kali lembur, Alin seharusnya mendapatkan upah sebesar Rp 88.000 an. Ini didapat dari hasil penjumlahan 1,5 x 1/173 x waktu jam lembur x gajih bulanan.
Dampak UU Cipta Kerja, Status Karyawan Semakin Tak Jelas
Selain tidak sesuainya pemberian upah saat lembur kerja, UU Cipta Kerja dinilai menghilangkan kesempatan bagi para pekerja untuk menjadi pegawai tetap di tiap perusahaan.
Peraturan terdahulu yang tertuang di Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kriteria Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) periode penyelesainnya selama 3 tahun.