Jabarekspres – Sejumlah pedagang Pasar Rengasdengklok Kabupaten Karawang terlibat adu mulut atau cekcok dengan petugas dipaksa mengosongkan lapak dagangan milik mereka untuk dipindah ke Pasar Proklamasi Rengasdengklok.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi II DPRD Jabar, Racmat Hidayat Djati menyarankan Pemkab mempersilahkan terlebih dahulu para pedagang masuk ke pasar versi Build Operate and Transfer (BOT) dengan tidak mempersoalkan dulu bayar.
“Jika penguasa “kebelet” harus relokasi, dengan catatan para pedagang dipersilahkan masuk dulu ke Pasar Versi BOT, tapi persoalan bayar harus belakangan,” kata Racmat Hidayat Djati di Bandung, Senin (19/12).
Bagi pedagang, kata dia, untuk direlokasi ke Pasar Versi BOT, tak semudah membalikan ke dua telapak tangan.
Terlebih, tertebih bagi Para Pedagang Kaki lima, dimana harus membeli kios yang harganya, oleh mereka dirasakan sangat mencekik leher.
Menurut Kang Toleng–sapaan akrab Racmat Hidayat Djati, guna merelokasi para pedagang ke pasar versi BOT, harus memenuhi rasa keadilan dengan disertai tidak memberikan beban apapun.
“Jangankan untuk membeli harga kios, untuk melangsungkan Giat dagang dan menghidupi keluarganya saja kelimpungan,” kata dia.
Selaku Ketua PKB Karawang, Kang Toleng mengaku merasa sedih dan perihatin, saat mendengar para PKL lebih memilih berjualan di jembatan yang menghubungan Tugu Rengadebgklok dengan Bojong Bekasi, ketimbang harus masuk pasat Versi BOT.
Dia menjelaskan, jika PKL dipaksa harus masuk pasar Versi BOT, ke satu Pemkab harus membantu dana 50% dari harga kios, ke 2 keberadaan kiosnya harus memenuhi sarat dari sisi sanitasi dan program kebersihan Karawang yakni Interadih( Indah Tertib, Aman dan Bersih).
Sebaliknya, lanjut dia, jangan sampai para pedagang dipaksa relokasi ke pasar Versi BOT, fasilitas, sarana dan prasaranannya buruk. Atau, hanya asal masuk pasar baru, tetapi mereka berjualan, kiosnya tidak diminati pengunjung yang akan berbelanja.
“Saya tidak menginginkan begitu pedagang berjualan sepi pengunjung, sehingga barang dagangannya tidak terjual. Akhirnya, dengan sepinya berjualan, boro boro mereka bisa mencicil kios, yang ada keberadaan mereka makin terpuruk,” kang Toleng menandasi.