JABAR EKSPRES- Kita tau, atau bahkan kita merasakan dan mengalaminya sendiri bahwa 24 jam kehidupan kita tidak pernah terlepas dari yang namanya smartphone. Menurut hasil survei dunia, rata-rata milenial mengecek smartphone mereka sekitar 150 kali sehari. Dan ini dilakukan rata-rata setiap 6,5 menit sekali. Penomena ini disebut dengan penyakit FOMO atau “Fear of missing out” dimana banyak milenial yang terkena sindrom untuk terus-menerus mengecek smartphone karena takut ketinggalan informasi yang ada pada sosial media.
Ternyata, dari survei tersebut kita bisa menelaah jauh tentang dampak negatif yang ditimbulkan dari smartphone terhadap gaya komunikasi milenial. Sekarang muncul istilah populer bagi milenial yaitu “generasi menunduk” karena keseringan memandangi layar hp, generasi saat ini jadi enggan untuk mengangkat kepala dan melkukan eye contact saat berkomunikasi. Padahal, menurut psychology today, eye contact merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang paling kuat. Sekitar 43% perhatian yang kita pokuskan ke orang lain dicurahkan melalui eye contact yang kita berikan.
Akhirnya, jika eye contact semakin berkurang, maka kemampuan dalam melakukan emotional connection yang menjadi dasar relasi dengan orang lain pun berkurang. Dan Ujung- ujungnya menjadi generasi yang tidak care, minim perhatian, minim empati dan minim cinta. Selain itu, smartphone membuat generasi menjadi lebih suka melakukan komunikasi via texting daripada komunikasi face to face.
Memang komunikasi via texting memiliki keunggulan tersendiri, yakni tidak perlu repot mengatur waktu dan mengatur ekspresi muka, intonasi suara, body language atau sopan santun seperti yg harus dilakukan saat berkomunikasi langsung. Namun, keunggulan itu memiliki sisi lemahnya juga. Ketika kita kebanyakan komunikasi via texting dan tidak terlatih untuk berkomunikasi secara langsung, maka kita akan kehilangan kemampuan social skills. Yaitu cara dan seni berkomunikasi dengan orang lain.
Contoh yang paling sederhana dari social skills adalah : berjabatan tangan, sopan santun, berbasa-basi, bertata krama, memainkan gesture dan body language, memainkan ekspresi muka, memainkan intonasi, menyela pembicaraan, dan menciptakan first impression.
Kalau social skills yang paling sederhana saja tidak bisa, apalagi untuk melakukan social skills yang lebih kompleks lagi seperti mengelola konflik, menciptakan konsensus, leadership skills, bernegosiasi, memotivasi, mengharmoniskan teamwork, atau untuk berkolaborasi dengan banyak orang ?