Berjalan kaki untuk mengenang sejarah itu diawali dari Sumur Bandung menuju Makam Dalam Kaum sampai di Wiranatakusumah.
“Untuk Panglipur, karena oleh Abah Aleh dititipkannya keilmuan, akhirnya dibuka nama (makna) selain dari penglipur hati. Yakni Pek Aranjeun Neangan Guru Luhur Ilmuna pama Ulah Riya (silakan kalian mencari guru yang tinggi ilmunya asalkan jangan sombong),” ucap Asep sambil menggerakkan kedua tangannya.
“Pengertian kedua, Panglipur itu Pek Aranjeun Neangan Guru Luhur Ilmuna pikeun Udageun Rasa (silahkan kalian mencari guru yang tinggi ilmunya dengan mengejar rasa),” lanjutnya yang tetap berdiri tegap di bawah sorotan cahaya matahari.
Di area Pendopo Wali Kota Bandung, sebagian murid Silat Panglipur sibuk berbincang seakan membahas sejarah usai Napak Tilas, beberapa terlihat saling memberi masukan sambil memeragakan jurus yang telah dipelajari.
Masih di posisi yang sama, pria berkumis tebal itu menjelaskan, Panglipur lebih identik pada pelestarian seni budaya pencak yang ada kaitannya dengan kesenian bela diri tradisional.
“Pencak silat itu terdapat empat aspek. Mental, spiritual, bela diri dan seni olahraga. Jadi empat aspek inilah yang dikolaborasikan oleh Abah Ales pada saat itu secara turun temurun,” jelasnya dengan tatapan tegas.
Peragaan silat ditampilkan oleh murid perguruan Panglipur, bahkan sang guru besar pun menyempatkan unjuk gigi dengan jurus-jurus memukau, setiap gerakannya indah namun menunjukkan kekuatan dan keteguhan.
Puluhan mudrid yang memperagakan jurus pun tak kalah memukau. Gerakan yang serentak dengan beberapa kali teriakkan, cukup membuat merinding orang-orang yang menyaksikan peragaan tersebut.
Sang guru besar, mengenakan baju khas pesilat, bertubi-tubi melakukan pukulan seakan tengah melawan musih secara sengit. Gerakannya cepat, tendangannya hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata.