JAKARTA – Kasus KM 50 yang menewaskan 6 orang anggota laskar FPI setelah tertembak oleh dua orang aparat polisi, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella, kembali menyita perhatian publik.
Selama proses penegakan hukum untuk keadilan, beberapa instansi terkait dan pejabat pemerintahan seakan lempar tangan dalam penanganan kasus yang disebut “Unlawful Killing” ini. Berikut rangkuman tanggapan dari beberapa tokoh dan pejabat dalam kasus ini, dilansir dari Tempo.
Presiden Joko Widodo
Menurut Presiden Jokowi, masyarakat tidak diperbolehkan bertindak semena-mena dan melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan masyarakat, apalagi bila perbuatannya itu sampai membahayakan bangsa dan negara.
Namun, Jokowi juga mengingatkan aparat penegak hukum untuk mengikuti aturan hukum, melindungi hak asasi manusia, dan menggunakan kewenangannya secara wajar dan terukur.
Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ikut buka suara terkait kasus KM 50. Komnas HAM meminta Polri tetap menyelesaikan rekomendasi yang dibuat lembaganya dalam kasus tersebut.
Pertama, Komnas HAM menilai tewasnya 4 orang Laskar FPI masuk kategori pelanggaran HAM. Lembaga tersebut merekomendasikan kasus ini dilanjutkan ke penegak hukum dengan mekanisme pengadilan pidana.
Kedua Komnas meminta polisi mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua Mobil Avanza hitam B 1759 PWI dan Avanza silver B 1278 KGD. Komnas HAM juga meminta polisi mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan oleh Laskar FPI.
Terakhir, dalam rekomendasi yang diserahkan ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Komnas HAM meminta proses penegakan hukum yang akuntabel, obyektif, dan transparan sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD
Menkopolhukam Mahfud Md menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) terkait dengan kematian enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), usai bentrok dengan polisi.
Mahfud beralasan, menurut hukum pelanggaran HAM, yakni Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hal tersebut adalah urusan Komnas HAM. Karena itu, ia mendorong Komnas HAM bekerja semaksimal mungkin mengusut kasus ini.