JABAREKSRPES.COM – Di Jawa Timur dan Jawa Tengah beberapa waktu terakhir sangat tren dengan keberadaan majelis sholawat. Setiap kali Majelis Sholawat menggelar sholawatan bersama maka akan ada ratusan hingga ribuan anak-anak muda yang menghadirinya, salah satunya Syubbanul Muslimin.
Trend ini berkembang sangat pesat, jangan berharap melihat jamaah yang hadir berpakaian gamis atau baju takwa putih rapi seperti majelis dzikir yang pernah ada. Jamaah Majelis Sholawat ini berpakaian serba hitam, dengan penampilan layaknya anak jalanan, penuh tato dan rambut gondrong kusut.
Namun disitulah keistimewaan Majelis Sholawat ini, anak-anak muda yang biasa hidup dijalanan, dengan dunia serba keras, dari perkelahian hingga mabuk-mabukan, ternyata bisa duduk diam bersholawat dan berdzikir.
Salah satu majelis sholawat yang merupakan perintis awal mengajak pemuda-pemuda ini adalah Majelis Sholawat Syubbanul Muslimin.
Di lansir dari Radarbromo.jawapos.com, KH Hafidzul Hakiem Noer masih ingat betul memori sekitar 13 tahun silam.
Saat itu, tahun 2005, dia baru pulang mondok dari Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri. Dia kaget, di lingkungan desanya yakni di Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, ada sekelompok anak muda yang hobi mengonsumsi minuman keras.
“Saya melihat anak-anak muda yang mabuk-mabukan, mencuri, minim kegiatan positif,” cerita Gus Hafidz -sapaan akrabnya- saat ditemui kemarin. Lalu, dengan kenekatan khas anak muda, dia mencoba merintis majelis salawat. Gus Hafidz kemudian mengumpulkan sejumlah santri untuk bersalawat bersama.
Saat itu, dia pun memberanikan diri untuk mengundang ayahandanya, almarhum KH Nuruddin Musyiri yang tak lain adalah pengasuh Pesantren Nurul Qadim.
“Abah waktu itu bertanya, majelis ini apa namanya? Saya bingung karena memang belum diberi nama,” ujar Gus Hafidz.
Hingga kemudian, KH Nuruddin Musyiri memberi nama Syubbanul Muslimin. Yang artinyaa para pemuda Islam. Pemberian nama itu membuat Gus Hafidz bangga bercampur haru. Hingga kemudian, nama itulah yang dipakai sampai saat ini.
Gus Hafidz memulai Majelis Syubbanul Muslimin nyaris dari nol dalam suasana penuh keterbatasan. Awalnya, mereka tak punya hadrah untuk mengiringi salawat.