Hal ini dikuatkan dengan firman Allah Ta’ala,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” [Ar-Rum/30: 21]
Firman Allah Ta’ala. ” أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجا Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri.” itu dalam konteks memberikan nikmat. Hal ini menunjukkan bahwa Dia tidak menciptakan isteri-isterinya dari selain jenis mereka.” [Adhwa’ul Bayan, 3/43]
Syaikh Wali Zar bin Syahiz Ad-Din hafizahullah berkata,
“Adapun masalah ini dari segi realitas, maka semuanya menyatakan kemungkinan terjadinya. Karen nash yang ada tidak menyatakan secara jelas, apakah dibolehkan atau dilarang, maka kami condong kepada pelarangan secara syariat. Sebab membolehkannya akan menyebabkan beberapa hal yang membahayakan, di antaranya:
Tersebarnya perbuatan zina, lalu mereka kaitkan hal tersebut dengan dunia jin. Karena dunia jin adalah perkara gaib, tidak mungkin dilakukan penyidikan atasnya.
Sedangkan Islam sangat memperhatikan dalam masalah menjaga kehormatan. Mencegah kerusakan didahulukan dari mendatangkan kebaikan, demikian sebagaimana telah ditetapkan dalam syariat Islam.
Akibat dari pernikahan seperti itu terhadap keturunan dan kehidupan keluarga. Anak-anak, kepada siapa nasab mereka disandangkan? Bagaimana bentuknya? Apakah seorang isteri dari jin tidak boleh berbentuk?”
Interaksi dengan jin dengan cara seperti ini membuat manusia tidak selamat dari gangguan. Padahal Islam sangat memperhatiakan keselamatan manusia dari gangguan.
Dengan kenyataan ini, tampaklah bahwa membolehkan hal ini akan menyeret orang ke berbagai permasalahan yang tiada ujung dan sulit mencari solusinya.
Ditambah lagi dampak buruknya terhadap keyakinan dalam jiwa, akal dan kehormatan. Padahal itu semua adalah perkara yang sangat dilindungi dalam Islam. Begitu pula pernikahan antara kedua jenis tersebut tidak mendapatkan manfaat sedikit pun.
Karena itu, lebih banyak yang condong pada pendapat yang melarang tindakan itu secara syariat, meskipun kemungkinan terjadi diterima. Jika terjadi hal seperti itu, atau muncul salah satu probelmnya, maka hal itu dianggap sebagai kondisi unik yang diatasi secukupnya dan tidak menjadi alasan membolehkannya.” [Al-Jin Fil Quran, hal. 206]